Iklan

,

Rendahnya Kualitas Jurnal Ilmiah di Indonesia, Ruben Cornelius Siagian Serukan Reformasi Total Sistem Publikasi

Kabar Nusantara
Senin, 11 Agustus 2025, 13.38 WIB Last Updated 2025-08-11T09:46:25Z

 

A person speaking into a microphone

AI-generated content may be incorrect.

Gambar. Ruben Cornelius Siagian sedang memaparkan Gagasanya

Kabar Nusantara - Medan, 11 Agustus 2025 — Rasa kecewa dan kegelisahan kini menyelimuti banyak peneliti di tanah air. Di balik prestasi akademik yang kerap dibanggakan di forum internasional, masih ada kenyataan pahit yang jarang diungkap yaitu lemahnya kualitas pengelolaan jurnal ilmiah di Indonesia. Kondisi ini disoroti langsung oleh akademisi sekaligus peneliti independen, Ruben Cornelius Siagian, yang menyebut bahwa sistem publikasi nasional sedang berada dalam “zona bahaya” jika pemerintah tidak segera melakukan pembenahan total.


Bagi Ruben, masalah ini bukan sekadar statistik atau keluhan sepele di media sosial. “Dampaknya nyata, langsung menggerus produktivitas riset kita,” ujarnya dengan nada prihatin. Ia menegaskan bahwa ribuan peneliti terjebak dalam proses editorial yang lambat, tidak transparan, dan kerap berujung penolakan tanpa penjelasan memadai.


Ironisnya, di tengah stagnasi ini, perhatian pemerintah tampaknya lebih tersita pada kegiatan seremonial yang gemar menampilkan barisan rapi, parade militer, dan jargon ketahanan ala masa lalu ketimbang memastikan ekosistem riset dan publikasi berjalan sehat. “Kalau lomba baris-berbaris, kita mungkin juara dunia. Tapi untuk urusan mutu publikasi ilmiah? Kita seperti negara yang rela tertinggal, asalkan barisannya rapat,” sindir Ruben. Ia membandingkan situasi ini dengan masa BJ Habibie, di mana pemerintah justru menempatkan riset dan inovasi sebagai urat nadi pembangunan bangsa. Di era itu, peneliti diberi ruang, dukungan, dan kebanggaan nasional untuk berkompetisi di panggung dunia, bukan sekadar menjadi penonton parade di lapangan. “Dulu, visi teknokrat memacu kita membuat pesawat, kapal, dan teknologi strategis. Sekarang, visi yang terlihat hanya memacu derap langkah pasukan,” ucap Ruben.


Perbandingan ini semakin ironis jika melihat alokasi anggaran negara. Berdasarkan data RAPBN 2025, Kementerian Pertahanan memperoleh anggaran fantastis sebesar Rp165,2 triliun, menjadikannya penerima dana terbesar di antara semua kementerian. Sebaliknya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang memikul beban pembinaan riset dan publikasi ilmiah hanya mendapat Rp83,2 triliun, kurang dari setengah anggaran pertahanan. Sementara itu, Kepolisian RI memperoleh Rp126 triliun, bahkan lebih besar daripada total dana untuk seluruh kegiatan pendidikan dan riset nasional. Ruben menilai angka ini bukan sekadar statistik anggaran, tetapi cermin dari prioritas politik negara. “Kita menggelontorkan ratusan triliun untuk senjata, seragam, dan parade, tapi untuk riset yang bisa mengubah masa depan, kita hanya memberi setengahnya. Ini seperti membangun benteng megah di tengah kota yang sekarat kelaparan,” ujarnya. Nuansa militeristik yang kian kental di era Prabowo, lanjutnya, membuat iklim akademik semakin terpinggirkan, seolah pengetahuan dan data tidak sepenting disiplin ala kasau lapangan. Ruben menegaskan, jika kondisi ini terus dibiarkan, Indonesia bukan hanya tertinggal dalam peringkat publikasi, tetapi juga kehilangan momentum strategis untuk menjadi pemain utama di kancah ilmu pengetahuan. Dan, tambahnya dengan nada sinis, “Mungkin saat itu pemerintah akan bangga karena jumlah parade militernya meningkat, walau jumlah publikasi dan sitasi ilmiahnya tetap memprihatinkan.”


Ruben Cornelius Siagian mengisahkan sebuah banyak pengalaman yang begitu menyesakkan hati, salah satu contoh datang dari seorang peneliti dari berbagai daerah. Peneliti ini, dengan segala keterbatasan fasilitas di daerahnya, telah mencurahkan dua tahun penuh untuk menuntaskan sebuah riset strategis. Bukan hanya waktu, tetapi juga dana pribadi yang tak sedikit bahwa lebih dari tiga puluh juta rupiah ia habiskan demi memastikan penelitiannya memiliki kualitas dan relevansi tinggi. Harapannya sederhana, namun sangat menentukan masa depannya yaitu publikasi tepat waktu di sebuah jurnal nasional terakreditasi, agar bisa memenuhi syarat administratif untuk mendaftar beasiswa doktoral di luar negeri. Namun, kenyataan yang menantinya justru jauh dari harapan. Setelah naskah dikirim, bulan demi bulan berlalu tanpa ada satu pun kabar dari pihak jurnal. Empat belas bulan lamanya ia menunggu, menahan cemas, bahkan menolak beberapa kesempatan riset lain demi fokus pada proses publikasi yang tak kunjung selesai. Hingga akhirnya, sebuah email singkat datang. Isinya penolakan. Tak ada penjelasan mendalam, tak ada peer review yang memadai dan hanya satu kalimat alasan yang dingin yaitu “Tidak sesuai fokus jurnal.”


Bagi Ruben, inilah salah satu potret paling menyedihkan dari sistem publikasi ilmiah di Indonesia. Yang membuat kisah ini semakin tragis adalah konteks penelitian tersebut. Saat itu, topiknya sangat relevan dengan kebijakan pemerintah yang sedang hangat dibahas. Temuan-temuannya berpotensi memberi kontribusi nyata bagi pengambilan keputusan di tingkat nasional. Namun, karena publikasi gagal, riset itu kehilangan momentum. Saat peneliti mencoba mengajukan kembali ke jurnal lain, datanya sudah dianggap kadaluarsa dan tak lagi menarik bagi pembaca maupun pembuat kebijakan.

 

Kesempatan beasiswa yang menjadi cita-citanya sejak lama pun sirna begitu saja. “Ini bukan sekadar penolakan akademik. Ini memutus jalan masa depan seseorang. Kerja keras bertahun-tahun, pengorbanan finansial, dan idealisme yang ia bawa pulang dari kampungnya dan semuanya runtuh hanya karena sistem jurnal yang tidak berjalan semestinya,” ujar Ruben dalam menceritakan kisah temanya, dengan nada getir.


    Rasa prihatin Ruben Cornelius Siagian semakin beralasan ketika menelaah data publikasi internasional yang dirilis oleh Scopus pada tahun 2020. Angka-angka tersebut, menurutnya, bukan sekadar statistik kering, melainkan cermin nyata dari ketertinggalan bangsa dalam persaingan ilmu pengetahuan global. Indonesia, dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa, hanya mampu mencatat 49.160 publikasi ilmiah, atau jika dihitung per kapita, setara dengan 181 artikel untuk setiap satu juta penduduk. Perbandingan ini terasa memukul ketika disejajarkan dengan Australia, yang mampu menghasilkan 4.109 artikel per juta penduduk, dan Kanada dengan 3.184 artikel per juta penduduk bahwa dua negara yang jumlah penelitinya jauh lebih sedikit, namun efisiensi dan dampaknya berlipat ganda.


Lebih memilukan lagi adalah fakta mengenai rata-rata sitasi per artikel. Penelitian dari Indonesia hanya mengantongi rata-rata 18,3 sitasi, angka yang tidak hanya lebih rendah dari Australia atau Kanada, tetapi bahkan tertinggal dari negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Padahal, kedua negara tersebut memiliki jumlah publikasi yang lebih sedikit dibanding Indonesia. “Ini menunjukkan bahwa persoalan kita bukan hanya pada kuantitas, tetapi juga kualitas dan relevansi riset yang dihasilkan,” ujar Ruben dengan nada prihatin.


Ia menegaskan bahwa di balik angka-angka tersebut tersimpan persoalan mendasar dalam ekosistem publikasi ilmiah di tanah air. Banyak peneliti yang sudah menghasilkan karya berkualitas, namun terhambat oleh sistem publikasi yang lamban, kurang transparan, dan kerap tidak ramah terhadap penulis. “Jumlah peneliti kita besar, tapi dampaknya kecil. Salah satu biang keladinya adalah proses publikasi yang tidak ramah peneliti. Bayangkan, ide dan temuan yang seharusnya segera dibaca dunia malah tertahan berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun,” tambahnya.


Ruben menilai, jika kondisi ini terus dibiarkan, Indonesia bukan hanya akan tertinggal dalam peringkat publikasi, tetapi juga kehilangan momentum strategis untuk menjadi pemain utama dalam pengembangan ilmu pengetahuan di kawasan. Data ini, menurutnya, seharusnya menjadi alarm nasional bagi pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga penelitian untuk segera berbenah, bukan sekadar demi mengejar angka, melainkan demi mengangkat martabat dan daya saing bangsa di panggung global.


Ruben Cornelius Siagian mengungkapkan bahwa masalah rendahnya kualitas jurnal ilmiah di Indonesia bukanlah persoalan yang muncul tiba-tiba, melainkan sudah mengakar selama bertahun-tahun tanpa solusi yang memadai. Menurutnya, manajemen editorial di banyak jurnal belum dikelola secara profesional. Alur peer review kerap tidak jelas, membuat penulis bingung harus menunggu berapa lama atau tahapan apa saja yang sedang berlangsung. Akibatnya, proses yang seharusnya bisa selesai dalam hitungan bulan justru berlarut hingga lebih dari setahun.


Kondisi ini semakin diperburuk oleh minimnya pelatihan khusus bagi para editor dan reviewer. Banyak di antara mereka belum menguasai standar internasional seperti COPE atau sistem penilaian Scopus, sehingga kualitas telaah terhadap naskah sering kali rendah dan tidak konstruktif. Penulis kerap menerima komentar yang terlalu singkat, umum, bahkan terkadang tidak relevan dengan topik penelitian. Situasi ini menimbulkan kesan bahwa proses penilaian hanya formalitas, bukan upaya serius untuk meningkatkan mutu karya ilmiah. Selain itu, Ruben menyoroti bahwa teknologi pengelolaan naskah di banyak jurnal Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan negara lain. Banyak jurnal yang masih mengandalkan sistem manual atau email biasa untuk mengirim dan menerima naskah, alih-alih menggunakan platform manajemen digital yang terintegrasi. Hal ini membuat komunikasi antara penulis, editor, dan reviewer menjadi lambat, penuh risiko kehilangan data, dan rawan miskomunikasi.


Lebih jauh, ia menegaskan bahwa ketiadaan batas waktu yang tegas untuk proses publikasi membuat para penulis terombang-ambing tanpa kepastian. Beberapa bahkan mengaku menunggu hingga 18 bulan hanya untuk mendapatkan kabar awal dari redaksi. Ketika akhirnya naskah mereka ditolak, alasan yang diberikan sering kali tidak transparan atau terlalu umum, seperti “tidak sesuai fokus jurnal,” tanpa penjelasan rinci.


“Kalau kondisi ini terus dibiarkan,” ujar Ruben dengan nada tegas, “riset kita akan terus kalah bersaing. Indonesia hanya akan menjadi konsumen pengetahuan dari luar negeri, sementara potensi ilmuwan kita tidak pernah benar-benar terwujud di panggung global.”


Ruben Cornelius Siagian menegaskan bahwa perbaikan mutu jurnal ilmiah di Indonesia tidak dapat lagi menunggu. Menurutnya, pemerintah perlu mengambil langkah strategis dan terukur dengan membentuk sebuah Badan Nasional Standar Jurnal Ilmiah yang memiliki kewenangan penuh untuk mengawasi kualitas editorial, memastikan proses publikasi berjalan sesuai standar internasional, serta memberikan sanksi kepada pengelola jurnal yang tidak profesional. Lembaga ini, kata Ruben, harus berfungsi seperti “otoritas pengawas” yang mampu mengawal integritas ilmiah dari hulu ke hilir.


Selain itu, Ruben menilai peningkatan kapasitas sumber daya manusia menjadi kunci. Ia mendorong adanya pelatihan rutin bagi editor dan reviewer yang disusun berdasarkan standar etik dan mutu publikasi global seperti COPE, Scopus, dan DOAJ. Pelatihan ini diharapkan tidak hanya membekali mereka dengan keterampilan teknis penilaian naskah, tetapi juga membentuk sikap profesional dalam menjaga komunikasi yang transparan dan menghargai waktu para penulis.


Tak kalah penting, Ruben juga menyoroti perlunya platform manajemen naskah digital yang modern dan transparan. Sistem ini harus dilengkapi dengan fitur tracking system yang memungkinkan penulis memantau perkembangan naskah mereka secara *real-time*, mulai dari tahap penerimaan, proses review, hingga keputusan akhir. Dengan cara ini, tidak akan ada lagi penulis yang “dihilangkan” kabarnya selama berbulan-bulan tanpa kejelasan.

Untuk mendorong kinerja yang lebih baik, Ruben mengusulkan adanya insentif finansial dan penghargaan khusus bagi jurnal yang mampu bekerja cepat, transparan, dan menghasilkan publikasi berkualitas tinggi. Menurutnya, sistem penghargaan akan memicu persaingan sehat antarjurnal, sehingga mutu keseluruhan publikasi nasional meningkat secara signifikan.


Sebagai penutup, Ruben menggarisbawahi pentingnya menetapkan batas waktu maksimal tiga hingga empat bulan bagi seluruh proses peninjauan hingga keputusan akhir publikasi. Batas ini, tegasnya, bukan hanya realistis, tetapi juga merupakan standar umum di banyak negara maju. “Ilmu pengetahuan adalah aset strategis bangsa. Kalau kita gagal mengelola publikasi, sama saja kita menghambat kemajuan kita sendiri,” pungkasnya dengan nada serius.