Sebagai humas pemerintah dari Bumi Majapahit, saya melihat HUT ke-80 RI bukan sekadar rutinitas semata, melainkan ajakan untuk kembali menyulam narasi kebangsaan. Tema “Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju” serta logo berbentuk angka 80 menyerupai simbol infinity mengandung pesan yang dalam: bahwa kemajuan bangsa hanya bisa dicapai jika komunikasi antara negara dan rakyat terjalin tanpa putus, dilandasi nilai-nilai lokal yang religius dan nasionalis.
Dari Majapahit Kita Belajar Bersatu
Jawa Timur, sebagai bumi warisan Majapahit, menyimpan jejak sejarah tentang persatuan dan kejayaan Nusantara. Majapahit tidak sekadar kerajaan, ia adalah simbol kekuatan yang menyatukan keberagaman. Spirit itulah yang mengalir dalam darah warga Jawa Timur, nasionalisme yang berakar pada tradisi, ditopang oleh nilai religiusitas yang hidup di tengah masyarakat. Ketika negara mengusung tema “Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju”, saya melihat ada narasi besar yang dibangun dan dikuatkan: bahwa kunci dari kemajuan bangsa terletak pada soliditas rakyatnya. Bersatu bukan hanya jargon, melainkan kesadaran kolektif untuk saling menjaga, merangkul, dan bergerak bersama. Di pelosok desa, para petani dan nelayan tetap bekerja dengan penuh semangat, tidak menunggu negara datang, tetapi percaya bahwa mereka adalah bagian dari bangsa ini. Di pesantren, para santri mendalami kitab kuning sambil mengobarkan cinta tanah air. Di kantor-kantor pemerintah, para ASN terus berinovasi demi pelayanan yang lebih baik. Inilah wajah sejati dari “Bersatu” yang tidak sekadar dinarasikan, tapi diwujudkan dalam aksi nyata. Bersatu juga berarti saling melengkapi di tengah perbedaan. Di Jawa Timur, perbedaan antaragama, budaya, bahkan dialek antarwilayah, bukan halangan untuk bekerja sama. Kita punya warisan toleransi dari tokoh-tokoh besar seperti KH Hasyim Asy’ari, Bung Tomo, dan Gus Dur yang menjadi role model persatuan dalam keberagaman.
Infinity: Komunikasi yang Tak Terputus
Logo angka 80 yang membentuk simbol ∞ (infinity), bagi saya sebagai praktisi komunikasi, bukan hanya menarik secara visual, tapi juga bermakna dalam. Ia menggambarkan komunikasi yang tak terputus antara pemerintah dan rakyat. Relasi yang bersifat timbal balik, dinamis, dan terus menyatu. Dalam dunia kehumasan pemerintah, membangun kepercayaan publik bukan pekerjaan sesaat. Ia adalah proses panjang, tanpa titik akhir. Layaknya lambang infinity, hubungan antara negara dan rakyat mesti terus dirawat, dipelihara dengan empati, transparansi, dan partisipasi. Simbol infinity dalam konteks komunikasi publik dapat dimaknai sebagai lingkaran kepercayaan antara pemerintah dan rakyat. Komunikasi yang efektif bukan sekadar menyampaikan pesan, tetapi juga membuka ruang umpan balik. Ketika publik merasa didengar dan dihargai, kepercayaan terhadap institusi negara akan tumbuh. Sebaliknya, komunikasi yang satu arah, kaku, dan birokratis justru memperlebar jarak emosional antara negara dan warganya. Saat ini, suara rakyat tak lagi dibatasi ruang dan waktu. Media sosial membuka ruang interaksi yang luas dan cepat. Dalam kondisi ini, komunikasi publik tidak bisa hanya bersifat formal dan sepihak. Pemerintah harus hadir dengan cara yang adaptif: mendengar, merespons, dan memberi ruang bagi tumbuhnya aspirasi dari bawah.
Tradisi dan Religi yang Membumi
Jawa Timur dikenal bukan hanya karena semangat nasionalismenya yang kuat, tetapi juga karena harmonisasi antara tradisi dan nilai keagamaan yang hidup berdampingan. Dari Ngawi hingga Banyuwangi, dari Blitar hingga Sumenep, adat, agama, dan budaya menjadi fondasi yang membentuk karakter masyarakat. Ketiganya saling menguatkan, menciptakan tatanan sosial yang berakar kuat dan sekaligus adaptif terhadap perubahan. Budaya, tradisi, dan seni bukan sekadar ekspresi, melainkan bentuk komunikasi kultural yang mempererat ikatan sosial. Dalam konteks kehumasan, pendekatan berbasis kearifan lokal ini sangat relevan. Strategi komunikasi publik yang efektif adalah strategi yang mampu memahami kultur audiens secara utuh, bukan sekadar menyampaikan pesan, tetapi juga membangun relasi yang berkelanjutan. Di sisi lain, banyak pesantren di Jawa Timur kini mengembangkan dakwah digital. Para santri tidak hanya mengaji, tetapi juga menjadi kreator konten dakwah melalui media sosial, podcast, dan video edukatif. Inilah wajah baru tradisi yang selaras dengan perkembangan zaman, dan layak menjadi bagian dari strategi komunikasi pemerintah yang lebih inklusif dan kekinian.
Membumikan Tema Lewat Aksi Nyata
Tema besar HUT ke-80 RI harus dibumikan dalam tindakan nyata, bukan sekadar visual baliho atau logo di berbagai konten media sosial. Nilai “bersatu” bisa diwujudkan melalui kolaborasi pentahelix: pemerintah, akademisi, pelaku usaha, komunitas/masyarakat (termasuk pesantren), dan media bekerja bersama merancang, menjalankan, dan mengevaluasi program. “Berdaulat” diterjemahkan dalam dorongan kemandirian ekonomi lokal berbasis inovasi lintas unsur tersebut, sementara “rakyat sejahtera” harus menjadi orientasi utama setiap kebijakan sosial. Visi “Indonesia Maju” idealnya dimulai dari desa-desa yang tumbuh inklusif, di mana lima unsur pentahelix hadir sebagai co-creator, bukan sekadar pelaksana teknis. Di tingkat daerah, narasi kemerdekaan dapat diinternalisasikan melalui kampanye tematik yang relevan dan menyentuh kebutuhan nyata masyarakat. Gerakan pangan lokal dapat melibatkan pemerintah daerah, perguruan tinggi, asosiasi petani dan UMKM, media untuk amplifikasi, serta komunitas sebagai agen perubahan di lapangan. Digitalisasi UMKM bisa dikerjakan bersama startup teknologi, kampus (inkubasi bisnis), perbankan daerah, dan komunitas kreator konten. Penguatan literasi digital dapat menggandeng pesantren, komunitas keagamaan, dan media arus utama untuk membangun ekosistem informasi yang sehat. Agar pesan tidak terasa jauh, pendekatan berbasis budaya lokal tetap menjadi kunci, kampanye pangan, misalnya, dikaitkan dengan pasar tradisional, tumpengan, atau ritual panen sebagai komunikasi yang membumi. Sebagai humas pemerintah, tugas kami tidak berhenti pada menyampaikan pesan dari pusat. Kami harus mengorkestrasi kolaborasi pentahelix: menerjemahkan, mengontekstualisasikan, memfasilitasi dialog, dan memastikan setiap pesan berdampak pada publik sasaran. Komunikasi publik yang baik bukan hanya membuat konten menarik, tetapi membangun keterhubungan, kepercayaan, dan hasil nyata. Tantangan humas hari ini adalah menjadi jembatan antara negara dan rakyat, bukan sekadar menyuarakan, tetapi menghidupkan pesan negara dalam realitas masyarakat, serta mengukurnya secara transparan agar akuntabilitas dan kepercayaan publik terus terjaga.
Komunikasi yang Menyatukan dan Membangun
Logo dan tema HUT ke-80 RI bukan sekadar karya visual atau rangkaian kata tanpa makna, tetapi ajakan kolektif untuk mempererat kembali kebersamaan, menyatukan kepedulian yang sempat hilang, dan menghidupkan kembali semangat kebangsaan yang mulai meredup. Ini adalah pesan strategis negara agar kita tidak lupa pada akar, sekaligus pengingat bahwa masa depan hanya bisa dibangun jika fondasi persatuan tetap kokoh. Kemerdekaan bukan hanya soal mengenang masa lalu, tetapi juga tentang keberanian merumuskan masa depan bersama. Dari Bumi Majapahit, tanah yang pernah menyatukan Nusantara, kita belajar bahwa membangun bangsa adalah kerja lintas generasi. Ia bukan tugas satu zaman atau satu golongan, melainkan estafet panjang yang harus terus dijaga dengan semangat gotong royong dan kepercayaan. Sebagai humas pemerintah, kita harus berkomitmen menjadikan setiap pesan negara bukan hanya tersampaikan, tetapi menyentuh, menggerakkan dan berdampak. Sebab kami percaya, narasi yang kuat tidak lahir dari birokrasi yang kaku, melainkan dari akar budaya yang hidup, nilai spiritual yang menyejukkan, dan kedekatan emosional yang dibangun bersama rakyat. Maka mari kita sambut HUT ke-80 RI ini bukan hanya dengan seremoni, tapi dengan aksi dan narasi yang menyatukan. Karena Indonesia yang kita cintai hanya akan maju jika kita bersatu dan penuh optimisme.