Kabar Nusantara - Akuakultur pesisir
memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan pangan global sekaligus
mendukung ekonomi masyarakat pesisir. Namun, praktik akuakultur yang tidak
terkelola dengan baik dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan,
seperti degradasi habitat, pencemaran air, dan konflik penggunaan lahan
pesisir. Oleh karena itu, pemantauan yang efektif terhadap aktivitas akuakultur
sangat penting untuk memastikan keberlanjutan dan keseimbangan antara produksi
dan konservasi lingkungan.
Salah satu pendekatan
yang semakin berkembang dalam pemantauan akuakultur adalah pemetaan spasial.
Dengan memanfaatkan teknologi seperti citra satelit, drone, dan sistem
informasi geografis (SIG), pemetaan spasial memungkinkan identifikasi lokasi,
intensitas, dan perubahan aktivitas akuakultur secara akurat dan real-time.
Pendekatan ini tidak hanya mendukung pengambilan keputusan berbasis data,
tetapi juga membantu dalam perencanaan zonasi wilayah pesisir, mitigasi dampak
lingkungan, dan peningkatan transparansi serta pengawasan dalam industri
akuakultur. Berikut merupakan beberapa pembahasan jurnal mengenai akuakultur
pesisir dengan pemetaan dan pemantauan lingkungan.
Coastal
aquaculture mapping from very high spatial resolution imagery by combining
object-based neighbor features
Jurnal ini membahas
suatu studi yang menerapkan kerangka metodologi inovatif yang dikenal sebagai
Multiscale Neighboring Information Classification (MNIC) untuk
mengklasifikasikan area terendam dan tidak terendam, dengan fokus khusus pada
dua jenis makroalga koralin: Crustose Coralline Algae (CCA) dan Rhodophyta
Coralline Algae (RCA).
Tujuan utama studi ini adalah menghasilkan objek-objek citra untuk mengidentifikasi keberadaan RCA dan CCA secara akurat dalam lingkungan pesisir yang kompleks. Pendekatan yang digunakan melibatkan beberapa skala agar hasil klasifikasi vegetasi bawah laut menjadi lebih akurat, dengan mempertimbangkan keragaman bentuk dan warna habitat laut
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini mencakup beberapa tahap utama yang bertujuan meningkatkan akurasi dalam pemetaan spasial akuakultur pesisir. Tahap pertama adalah praproses dan penajaman gambar multiskala (multiscale pansharpening), yang bertujuan untuk meningkatkan resolusi spasial data citra sebelum dilakukan analisis lanjutan. Proses ini memungkinkan identifikasi objek secara lebih rinci pada wilayah pesisir. Selanjutnya, dilakukan penghapusan area yang tidak relevan, khususnya permukaan daratan yang tidak menjadi fokus klasifikasi. Penyaringan ini dilakukan melalui pendekatan berbasis aturan (rule-based masking), sehingga hanya area perairan yang dianalisis secara intensif.
Tahap berikutnya adalah pemilihan fitur secara otomatis untuk mengidentifikasi atribut spasial dan spektral yang paling signifikan serta menentukan ambang batas optimal dalam proses klasifikasi. Setelah itu, dilakukan segmentasi multiskala yang berfungsi memisahkan wilayah yang terendam dan tidak terendam, sekaligus mendefinisikan batas spasial objek secara kasar. Langkah terakhir adalah ekstraksi fitur tetangga berbasis objek dari hasil segmentasi, di mana informasi spasial tambahan dari hubungan antar objek digunakan untuk meningkatkan akurasi klasifikasi. Kombinasi metodologi ini dirancang untuk memberikan hasil pemetaan yang presisi dan relevan dalam konteks pemantauan akuakultur pesisir.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode MNIC yang dikombinasikan dengan algoritma SEaTH berhasil menghasilkan klasifikasi spasial yang akurat pada skala segmentasi 5000. Seluruh wilayah daratan berhasil dipisahkan secara utuh dari wilayah laut, dan semua klasifikasi RCA dan CCA terdeteksi berada di dalam area laut, sesuai dengan ekspektasi ekologis. Evaluasi akurasi klasifikasi juga dilakukan menggunakan sampel representatif. Aturan klasifikasi tambahan diterapkan, di mana segmen dengan nilai NDWI (Normalized Difference Water Index) kurang dari -0,53 diidentifikasi sebagai wilayah tidak terendam. Secara keseluruhan, berbagai skala segmentasi terbukti mampu merepresentasikan ukuran dan distribusi RCA dan CCA dengan baik, meskipun terdapat beberapa kasus mis-klasifikasi RCA sebagai air laut tingkat satu.
The
potential study of marine aquaculture location in Eastern Bintan Island
Makanan laut merupakan
sumber protein bermutu tinggi yang memberikan manfaat kesehatan, terutama bagi
anak-anak, remaja, hingga lansia karena mengandung berbagai nutrisi seperti
protein, asam amino, serat, vitamin, dan mineral yang esensial bagi tubuh. Akuakultur
laut lepas menawarkan cara produksi yang lebih efisien dan hemat ruang untuk
menghasilkan produk laut dalam jumlah besar. Perkembangan teknologi serta
keterbatasan hasil dari penangkapan ikan tradisional turut mendorong munculnya
sektor ekonomi baru melalui akuakultur laut lepas. Pulau Bintan, yang sebagian
besar wilayahnya merupakan perairan, memiliki potensi besar untuk pengembangan
budidaya laut berkelanjutan. Terdiri atas 2.408 pulau kecil, setiap pulau
tersebut berpotensi mendukung kegiatan akuakultur. Berdasarkan hasil pemantauan
dari LIPI terhadap ekosistem terumbu karang dan spesies bentik, ditemukan bahwa
produksi perikanan laut di wilayah ini menunjukkan tren yang fluktuatif dan
cenderung menurun. Budidaya laut menjadi alternatif yang tepat untuk mencukupi
kebutuhan protein di Pulau Bintan, didukung oleh luasnya wilayah laut yang
tersedia. Pemanfaatan potensi akuakultur secara berkelanjutan diyakini dapat
meningkatkan pendapatan daerah serta peran ekonomi Bintan dalam ekspor produk
laut ke negara tetangga. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk
mengidentifikasi lokasi potensial budidaya laut di wilayah timur Pulau Bintan
dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh, menggunakan parameter suhu
permukaan laut (SST) dan konsentrasi klorofil-a (Chl-a) sebagai indikator
kondisi habitat yang sesuai bagi organisme laut.
Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan analisis penginderaan jauh guna
mengumpulkan informasi komprehensif mengenai Zona Budidaya Laut (Marine
Aquaculture Zone/MAZ) yang strategis di bagian timur Pulau Bintan.
Data yang digunakan adalah konsentrasi klorofil-a (Chl-a) dan suhu permukaan laut (Sea Surface Temperature/SST) hasil citra satelit MODIS level-3 dengan resolusi 4 km, yang diambil dari Januari hingga Desember 2019. Analisis data dilakukan melalui beberapa tahap. Data yang telah diunduh kemudian diproses awal menggunakan aplikasi SeaDas, lalu dikonversi ke format GeoTiff berbasis sistem koordinat WGS 84 untuk selanjutnya dianalisis di perangkat lunak ER Mapper. Pada tahap ini, dilakukan pemotongan gambar dan penyesuaian nilai ambang untuk SST (dengan rentang 25–35 °C) dan Chl-a (dengan rentang 0,1–0,5 mg/m³). Hasil pengolahan kemudian disimpan dalam format raster (.ers) dan dianalisis lebih lanjut menggunakan ArcGIS untuk memproyeksikan kontur distribusi suhu dan klorofil. Nilai kontur yang digunakan memiliki interval 0,5 untuk suhu dan 0,1 untuk klorofil-a. Lokasi potensial untuk budidaya laut ditentukan berdasarkan titik temu antara kontur suhu optimal dan kandungan klorofil-a yang tinggi, karena kombinasi dua variabel ini menjadi indikator penting dalam menentukan habitat yang mendukung pertumbuhan organisme akuatik secara optimal.
Penelitian ini menunjukkan bahwa suhu permukaan laut (SST) dan konsentrasi
klorofil-a (Chl-a) di wilayah timur Pulau Bintan bervariasi antar musim dan
memengaruhi potensi lokasi budidaya laut. Suhu permukaan laut tercatat berkisar
antara 28,18°C hingga 33,17°C, yang masih berada dalam rentang optimal bagi
pertumbuhan organisme laut yang bernilai ekonomi. Pada musim utara, suhu
relatif lebih rendah akibat curah hujan tinggi dan arah angin dari utara,
sedangkan pada musim timur suhu tertinggi tercatat karena curah hujan rendah
dan angin kencang. Konsentrasi klorofil-a juga mengalami fluktuasi musiman,
dengan nilai tertinggi sebesar 2,27 mg/m³ dan terendah 0,10 mg/m³. Konsentrasi
ini cenderung lebih tinggi di wilayah pesisir karena adanya pasokan nutrien dari
daratan, sementara di perairan lepas nilai klorofil-a lebih rendah. Dari
pemrosesan data citra satelit MODIS, ditemukan bahwa potensi lokasi budidaya
laut tersebar di berbagai musim dengan jumlah titik tertinggi pada musim utara
sebanyak 394 lokasi. Jumlah titik potensi menurun pada musim timur menjadi 220
lokasi karena tingginya suhu dan rendahnya konsentrasi klorofil. Musim selatan
menunjukkan peningkatan potensi dengan 335 titik, disebabkan oleh peningkatan
curah hujan yang membawa nutrisi tambahan ke laut. Sebaliknya, musim barat
menunjukkan penurunan menjadi 202 titik karena suhu laut yang kembali menurun
dan keterbatasan nutrisi akibat rendahnya intensitas curah hujan. Sebagian
besar lokasi potensial berada di wilayah perairan jauh dari pantai, terutama di
bagian utara dan tenggara Bintan Timur, menandakan bahwa kawasan ini memiliki
kondisi lingkungan yang cocok untuk budidaya laut berkelanjutan.
Wilayah timur Pulau Bintan memiliki
potensi yang signifikan untuk pengembangan budidaya laut berkelanjutan
berdasarkan analisis suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a. Musim
utara merupakan waktu paling ideal dengan jumlah lokasi potensial terbanyak,
yaitu 394 titik, sedangkan musim barat memiliki titik potensi terendah, yakni
202 titik. Hasil ini memperkuat peran penting penginderaan jauh dalam
menentukan zona akuakultur laut yang strategis, serta mendukung pengembangan
ekonomi lokal melalui optimalisasi pemanfaatan sumber daya laut secara
berkelanjutan.
Spatial extraction of sea-cucumber aquaculture ponds using
remote sensing spectral and temporal features.
Teripang memiliki
nilai ekonomi dan ekologis tinggi serta menjadi bagian penting dalam sistem
akuakultur multitrofik. Namun, karena kemiripan bentuk dan ciri spektral
kolam-kolam budidaya berbagai spesies, identifikasi spesifik kolam teripang
masih sulit dilakukan. Dilakukan Pengembangan metode identifikasi kolam
teripang berbasis fitur spektral dan temporal dari citra satelit Sentinel-2,
demi mendukung pengelolaan berkelanjutan akuakultur di wilayah pesisir.
Pengamatan menggunakan citra yang dilakukan di
Provinsi Liaoning, Tiongkok, menggunakan data citra Sentinel-2 tahun 2016 dan
2023. Peneliti membangun dua indeks penginderaan jauh baru: LASCI (Land-based
Aquaculture Species Classification Index) dan SPCI (Sea Cucumber and Prawn
Classification Index), yang memanfaatkan perbedaan kualitas air akibat budidaya
spesies berbeda. Indeks ini dianalisis dalam deret waktu (Maret–November) untuk
mengekstrak tiga fitur kunci: nilai rata-rata LASCI, serta dua slope SPCI
(penurunan dan peningkatan). Dengan fitur ini, dibuat algoritma berbasis pohon
keputusan (decision tree) untuk membedakan kolam teripang dari kolam udang dan
ikan-kepiting. Proses validasi dilakukan menggunakan data lapangan dan data
pencarian lokasi budidaya.
Model ekstraksi kolam teripang yang diusulkan mencapai
akurasi keseluruhan sebesar 79,24%, dengan Precision (UA) 74,81%, Recall (PA)
87,07%, dan F1 score 0,81. Luas kolam teripang yang berhasil diidentifikasi di
Provinsi Liaoning mencapai 931,08 km², yang sebagian besar berada di kawasan
pesisir Huludao, Jinzhou, Yingkou, dan Dalian. Dalam periode 2016–2023, terjadi
peningkatan luas kolam sebesar 306,52 km² (49,08%), dengan ekspansi signifikan
di Jinzhou, Wafangdian, dan Pulandian. Penurunan luasan kolam hanya terjadi di
wilayah Panjin karena program restorasi ekologis.
Metode SCPE-STF (Sea-Cucumber Ponds Extraction using
Spectral Time-series Features) terbukti efektif membedakan kolam teripang
berdasarkan perbedaan kualitas air yang tercermin dalam fitur spektral. LASCI
dan SPCI yang dikembangkan memiliki keunggulan dibandingkan indeks lain seperti
NDCI, FAI, dan NDTI karena lebih sensitif terhadap perbedaan spesies budidaya.
Meski begitu, metode ini masih memiliki keterbatasan, terutama dalam membedakan
budidaya campuran serta penerapannya di wilayah dengan kondisi lingkungan yang
berbeda. Perlu pengembangan otomatisasi penyesuaian ambang batas dan waktu
pengamatan agar metode ini dapat diadopsi secara luas.
Penelitian ini berhasil mengembangkan pendekatan
berbasis penginderaan jauh dan deret waktu untuk mengekstrak kolam budidaya
teripang secara akurat. Dua indeks baru dan tiga fitur temporal utama
memungkinkan identifikasi spasial yang andal. Metode ini mendukung pemantauan
real-time serta perencanaan berkelanjutan budidaya teripang. Ke depan,
pengembangan akan difokuskan pada generalisasi model di wilayah lain dan
peningkatan otomatisasi deteksi.
Daftar Pustaka
Dao, Y., Yusnaldi, Y., & Kusuma, K. (2024). An Analysis of Destructive Fishing as an Anthropogenic Disaster in Coastal Areas: A Maritime Security Perspective. Nation State: Journal of International Studies, 7(2), 144-161.
Fu, Y., Deng, J., Ye, Z., Gan, M., Wang, K., Wu, J., ... & Xiao, G. (2019). Coastal aquaculture mapping from very high spatial resolution imagery by combining object-based neighbor features. Sustainability, 11(3), 637.
Youssef, Y. M., Gemail, K. S., Sugita, M., AlBarqawy, M., Teama, M. A., Koch, M., & Saada, S. A. (2021). Natural and anthropogenic coastal environmental hazards: An integrated remote sensing, GIS, and geophysical-based approach. Surveys in Geophysics, 1-33.