Iklan

,

AQUACULTURE IN COASTAL : HOW SPATIAL MAPPING MONITOR

Kabar Nusantara
Senin, 02 Juni 2025, 08.39 WIB Last Updated 2025-06-02T01:39:43Z

Kabar Nusantara - Akuakultur pesisir memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan pangan global sekaligus mendukung ekonomi masyarakat pesisir. Namun, praktik akuakultur yang tidak terkelola dengan baik dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, seperti degradasi habitat, pencemaran air, dan konflik penggunaan lahan pesisir. Oleh karena itu, pemantauan yang efektif terhadap aktivitas akuakultur sangat penting untuk memastikan keberlanjutan dan keseimbangan antara produksi dan konservasi lingkungan.


Salah satu pendekatan yang semakin berkembang dalam pemantauan akuakultur adalah pemetaan spasial. Dengan memanfaatkan teknologi seperti citra satelit, drone, dan sistem informasi geografis (SIG), pemetaan spasial memungkinkan identifikasi lokasi, intensitas, dan perubahan aktivitas akuakultur secara akurat dan real-time. Pendekatan ini tidak hanya mendukung pengambilan keputusan berbasis data, tetapi juga membantu dalam perencanaan zonasi wilayah pesisir, mitigasi dampak lingkungan, dan peningkatan transparansi serta pengawasan dalam industri akuakultur. Berikut merupakan beberapa pembahasan jurnal mengenai akuakultur pesisir dengan pemetaan dan pemantauan lingkungan.

 

Coastal aquaculture mapping from very high spatial resolution imagery by combining object-based neighbor features

 

Jurnal ini membahas suatu studi yang menerapkan kerangka metodologi inovatif yang dikenal sebagai Multiscale Neighboring Information Classification (MNIC) untuk mengklasifikasikan area terendam dan tidak terendam, dengan fokus khusus pada dua jenis makroalga koralin: Crustose Coralline Algae (CCA) dan Rhodophyta Coralline Algae (RCA).

 

Tujuan utama studi ini adalah menghasilkan objek-objek citra untuk mengidentifikasi keberadaan RCA dan CCA secara akurat dalam lingkungan pesisir yang kompleks. Pendekatan yang digunakan melibatkan beberapa skala agar hasil klasifikasi vegetasi bawah laut menjadi lebih akurat, dengan mempertimbangkan keragaman bentuk dan warna habitat laut


Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini mencakup beberapa tahap utama yang bertujuan meningkatkan akurasi dalam pemetaan spasial akuakultur pesisir. Tahap pertama adalah praproses dan penajaman gambar multiskala (multiscale pansharpening), yang bertujuan untuk meningkatkan resolusi spasial data citra sebelum dilakukan analisis lanjutan. Proses ini memungkinkan identifikasi objek secara lebih rinci pada wilayah pesisir. Selanjutnya, dilakukan penghapusan area yang tidak relevan, khususnya permukaan daratan yang tidak menjadi fokus klasifikasi. Penyaringan ini dilakukan melalui pendekatan berbasis aturan (rule-based masking), sehingga hanya area perairan yang dianalisis secara intensif.


Tahap berikutnya adalah pemilihan fitur secara otomatis untuk mengidentifikasi atribut spasial dan spektral yang paling signifikan serta menentukan ambang batas optimal dalam proses klasifikasi. Setelah itu, dilakukan segmentasi multiskala yang berfungsi memisahkan wilayah yang terendam dan tidak terendam, sekaligus mendefinisikan batas spasial objek secara kasar. Langkah terakhir adalah ekstraksi fitur tetangga berbasis objek dari hasil segmentasi, di mana informasi spasial tambahan dari hubungan antar objek digunakan untuk meningkatkan akurasi klasifikasi. Kombinasi metodologi ini dirancang untuk memberikan hasil pemetaan yang presisi dan relevan dalam konteks pemantauan akuakultur pesisir.


Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode MNIC yang dikombinasikan dengan algoritma SEaTH berhasil menghasilkan klasifikasi spasial yang akurat pada skala segmentasi 5000. Seluruh wilayah daratan berhasil dipisahkan secara utuh dari wilayah laut, dan semua klasifikasi RCA dan CCA terdeteksi berada di dalam area laut, sesuai dengan ekspektasi ekologis. Evaluasi akurasi klasifikasi juga dilakukan menggunakan sampel representatif. Aturan klasifikasi tambahan diterapkan, di mana segmen dengan nilai NDWI (Normalized Difference Water Index) kurang dari -0,53 diidentifikasi sebagai wilayah tidak terendam. Secara keseluruhan, berbagai skala segmentasi terbukti mampu merepresentasikan ukuran dan distribusi RCA dan CCA dengan baik, meskipun terdapat beberapa kasus mis-klasifikasi RCA sebagai air laut tingkat satu.

 

The potential study of marine aquaculture location in Eastern Bintan Island


Makanan laut merupakan sumber protein bermutu tinggi yang memberikan manfaat kesehatan, terutama bagi anak-anak, remaja, hingga lansia karena mengandung berbagai nutrisi seperti protein, asam amino, serat, vitamin, dan mineral yang esensial bagi tubuh. Akuakultur laut lepas menawarkan cara produksi yang lebih efisien dan hemat ruang untuk menghasilkan produk laut dalam jumlah besar. Perkembangan teknologi serta keterbatasan hasil dari penangkapan ikan tradisional turut mendorong munculnya sektor ekonomi baru melalui akuakultur laut lepas. Pulau Bintan, yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan, memiliki potensi besar untuk pengembangan budidaya laut berkelanjutan. Terdiri atas 2.408 pulau kecil, setiap pulau tersebut berpotensi mendukung kegiatan akuakultur. Berdasarkan hasil pemantauan dari LIPI terhadap ekosistem terumbu karang dan spesies bentik, ditemukan bahwa produksi perikanan laut di wilayah ini menunjukkan tren yang fluktuatif dan cenderung menurun. Budidaya laut menjadi alternatif yang tepat untuk mencukupi kebutuhan protein di Pulau Bintan, didukung oleh luasnya wilayah laut yang tersedia. Pemanfaatan potensi akuakultur secara berkelanjutan diyakini dapat meningkatkan pendapatan daerah serta peran ekonomi Bintan dalam ekspor produk laut ke negara tetangga. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi lokasi potensial budidaya laut di wilayah timur Pulau Bintan dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh, menggunakan parameter suhu permukaan laut (SST) dan konsentrasi klorofil-a (Chl-a) sebagai indikator kondisi habitat yang sesuai bagi organisme laut.


Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan analisis penginderaan jauh guna mengumpulkan informasi komprehensif mengenai Zona Budidaya Laut (Marine Aquaculture Zone/MAZ) yang strategis di bagian timur Pulau Bintan.


Data yang digunakan adalah konsentrasi klorofil-a (Chl-a) dan suhu permukaan laut (Sea Surface Temperature/SST) hasil citra satelit MODIS level-3 dengan resolusi 4 km, yang diambil dari Januari hingga Desember 2019. Analisis data dilakukan melalui beberapa tahap. Data yang telah diunduh kemudian diproses awal menggunakan aplikasi SeaDas, lalu dikonversi ke format GeoTiff berbasis sistem koordinat WGS 84 untuk selanjutnya dianalisis di perangkat lunak ER Mapper. Pada tahap ini, dilakukan pemotongan gambar dan penyesuaian nilai ambang untuk SST (dengan rentang 25–35 °C) dan Chl-a (dengan rentang 0,1–0,5 mg/m³). Hasil pengolahan kemudian disimpan dalam format raster (.ers) dan dianalisis lebih lanjut menggunakan ArcGIS untuk memproyeksikan kontur distribusi suhu dan klorofil. Nilai kontur yang digunakan memiliki interval 0,5 untuk suhu dan 0,1 untuk klorofil-a. Lokasi potensial untuk budidaya laut ditentukan berdasarkan titik temu antara kontur suhu optimal dan kandungan klorofil-a yang tinggi, karena kombinasi dua variabel ini menjadi indikator penting dalam menentukan habitat yang mendukung pertumbuhan organisme akuatik secara optimal.


Penelitian ini menunjukkan bahwa suhu permukaan laut (SST) dan konsentrasi klorofil-a (Chl-a) di wilayah timur Pulau Bintan bervariasi antar musim dan memengaruhi potensi lokasi budidaya laut. Suhu permukaan laut tercatat berkisar antara 28,18°C hingga 33,17°C, yang masih berada dalam rentang optimal bagi pertumbuhan organisme laut yang bernilai ekonomi. Pada musim utara, suhu relatif lebih rendah akibat curah hujan tinggi dan arah angin dari utara, sedangkan pada musim timur suhu tertinggi tercatat karena curah hujan rendah dan angin kencang. Konsentrasi klorofil-a juga mengalami fluktuasi musiman, dengan nilai tertinggi sebesar 2,27 mg/m³ dan terendah 0,10 mg/m³. Konsentrasi ini cenderung lebih tinggi di wilayah pesisir karena adanya pasokan nutrien dari daratan, sementara di perairan lepas nilai klorofil-a lebih rendah. Dari pemrosesan data citra satelit MODIS, ditemukan bahwa potensi lokasi budidaya laut tersebar di berbagai musim dengan jumlah titik tertinggi pada musim utara sebanyak 394 lokasi. Jumlah titik potensi menurun pada musim timur menjadi 220 lokasi karena tingginya suhu dan rendahnya konsentrasi klorofil. Musim selatan menunjukkan peningkatan potensi dengan 335 titik, disebabkan oleh peningkatan curah hujan yang membawa nutrisi tambahan ke laut. Sebaliknya, musim barat menunjukkan penurunan menjadi 202 titik karena suhu laut yang kembali menurun dan keterbatasan nutrisi akibat rendahnya intensitas curah hujan. Sebagian besar lokasi potensial berada di wilayah perairan jauh dari pantai, terutama di bagian utara dan tenggara Bintan Timur, menandakan bahwa kawasan ini memiliki kondisi lingkungan yang cocok untuk budidaya laut berkelanjutan.

Wilayah timur Pulau Bintan memiliki potensi yang signifikan untuk pengembangan budidaya laut berkelanjutan berdasarkan analisis suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a. Musim utara merupakan waktu paling ideal dengan jumlah lokasi potensial terbanyak, yaitu 394 titik, sedangkan musim barat memiliki titik potensi terendah, yakni 202 titik. Hasil ini memperkuat peran penting penginderaan jauh dalam menentukan zona akuakultur laut yang strategis, serta mendukung pengembangan ekonomi lokal melalui optimalisasi pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan.

 

Spatial extraction of sea-cucumber aquaculture ponds using remote sensing spectral and temporal features.

Teripang memiliki nilai ekonomi dan ekologis tinggi serta menjadi bagian penting dalam sistem akuakultur multitrofik. Namun, karena kemiripan bentuk dan ciri spektral kolam-kolam budidaya berbagai spesies, identifikasi spesifik kolam teripang masih sulit dilakukan. Dilakukan Pengembangan metode identifikasi kolam teripang berbasis fitur spektral dan temporal dari citra satelit Sentinel-2, demi mendukung pengelolaan berkelanjutan akuakultur di wilayah pesisir.


Pengamatan menggunakan citra yang dilakukan di Provinsi Liaoning, Tiongkok, menggunakan data citra Sentinel-2 tahun 2016 dan 2023. Peneliti membangun dua indeks penginderaan jauh baru: LASCI (Land-based Aquaculture Species Classification Index) dan SPCI (Sea Cucumber and Prawn Classification Index), yang memanfaatkan perbedaan kualitas air akibat budidaya spesies berbeda. Indeks ini dianalisis dalam deret waktu (Maret–November) untuk mengekstrak tiga fitur kunci: nilai rata-rata LASCI, serta dua slope SPCI (penurunan dan peningkatan). Dengan fitur ini, dibuat algoritma berbasis pohon keputusan (decision tree) untuk membedakan kolam teripang dari kolam udang dan ikan-kepiting. Proses validasi dilakukan menggunakan data lapangan dan data pencarian lokasi budidaya.


Model ekstraksi kolam teripang yang diusulkan mencapai akurasi keseluruhan sebesar 79,24%, dengan Precision (UA) 74,81%, Recall (PA) 87,07%, dan F1 score 0,81. Luas kolam teripang yang berhasil diidentifikasi di Provinsi Liaoning mencapai 931,08 km², yang sebagian besar berada di kawasan pesisir Huludao, Jinzhou, Yingkou, dan Dalian. Dalam periode 2016–2023, terjadi peningkatan luas kolam sebesar 306,52 km² (49,08%), dengan ekspansi signifikan di Jinzhou, Wafangdian, dan Pulandian. Penurunan luasan kolam hanya terjadi di wilayah Panjin karena program restorasi ekologis.


Metode SCPE-STF (Sea-Cucumber Ponds Extraction using Spectral Time-series Features) terbukti efektif membedakan kolam teripang berdasarkan perbedaan kualitas air yang tercermin dalam fitur spektral. LASCI dan SPCI yang dikembangkan memiliki keunggulan dibandingkan indeks lain seperti NDCI, FAI, dan NDTI karena lebih sensitif terhadap perbedaan spesies budidaya. Meski begitu, metode ini masih memiliki keterbatasan, terutama dalam membedakan budidaya campuran serta penerapannya di wilayah dengan kondisi lingkungan yang berbeda. Perlu pengembangan otomatisasi penyesuaian ambang batas dan waktu pengamatan agar metode ini dapat diadopsi secara luas.


Penelitian ini berhasil mengembangkan pendekatan berbasis penginderaan jauh dan deret waktu untuk mengekstrak kolam budidaya teripang secara akurat. Dua indeks baru dan tiga fitur temporal utama memungkinkan identifikasi spasial yang andal. Metode ini mendukung pemantauan real-time serta perencanaan berkelanjutan budidaya teripang. Ke depan, pengembangan akan difokuskan pada generalisasi model di wilayah lain dan peningkatan otomatisasi deteksi.

 

Daftar Pustaka

Dao, Y., Yusnaldi, Y., & Kusuma, K. (2024). An Analysis of Destructive Fishing as an Anthropogenic Disaster in Coastal Areas: A Maritime Security Perspective. Nation State: Journal of International Studies, 7(2), 144-161.


Fu, Y., Deng, J., Ye, Z., Gan, M., Wang, K., Wu, J., ... & Xiao, G. (2019). Coastal aquaculture mapping from very high spatial resolution imagery by combining object-based neighbor features. Sustainability, 11(3), 637.


Youssef, Y. M., Gemail, K. S., Sugita, M., AlBarqawy, M., Teama, M. A., Koch, M., & Saada, S. A. (2021). Natural and anthropogenic coastal environmental hazards: An integrated remote sensing, GIS, and geophysical-based approach. Surveys in Geophysics, 1-33.