Kabar Nusantara - Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) sebagai upaya strategis untuk mengatasi laju alih fungsi lahan pertanian yang kian masif. Berdasarkan data dari Kementerian ATR/BPN, sejak 2019 hingga 2023, Indonesia kehilangan ribuan hektar lahan sawah setiap tahunnya akibat alih fungsi menjadi kawasan industri, pemukiman, dan infrastruktur. Hal ini berpotensi mengancam ketahanan pangan nasional.
Menurut data yang dirilis oleh Ditjen PSP Kementerian Pertanian dan Kementerian Dalam Negeri (2023), terdapat perbedaan signifikan antara implementasi kebijakan melalui Perda RTRW, Perda LP2B, dan Peraturan Kepala Daerah (Perkada). Perda RTRW mencatat luas LP2B sebesar 5.538.437 ha, Perda LP2B sebesar 2.592.676 ha, dan Perkada sebesar 3.111.301 ha. Dari total 508 kabupaten/kota di Indonesia (tidak termasuk DKI Jakarta), baru 503 daerah (99%) yang memiliki Perda RTRW, 179 (35,2%) memiliki Perda LP2B, dan 123 (24,2%) memiliki Perkada terkait LP2B. Menariknya, dari sisi kelengkapan data spasial, Perkada justru lebih tinggi (86,2%) dibanding Perda LP2B (25,1%) dan Perda RTRW (23,6%).
Namun, di balik angka-angka tersebut, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) mencatat berbagai hambatan dalam implementasi kebijakan ini. Beberapa isu utama meliputi:
- Komitmen pimpinan daerah dalam menetapkan LP2B belum merata.
- Alokasi anggaran dari APBD untuk kegiatan LP2B relatif terbatas.
- Perbedaan pemahaman tentang data spasial antar kabupaten/kota.
- Rendahnya edukasi kepada petani dan penyuluh terkait UU No. 41 Tahun 2009.
- Sistem informasi LP2B belum terpadu.
- Proses perizinan berbasis OSS belum maksimal.
- Koordinasi antar-SKPD belum optimal.
- Sanksi hukum tidak berjalan karena lemahnya basis data pemilikan lahan.
Lebih dalam lagi, dalam praktiknya di lapangan, muncul konflik antara kepentingan publik dan kepentingan individu pemilik lahan. Banyak pemilik lahan merasa bahwa lahan yang telah ditetapkan sebagai LP2B tidak cocok untuk pertanian karena masalah kesuburan, irigasi, atau karena lokasi yang lebih strategis untuk pemukiman atau kegiatan ekonomi lainnya. Di sisi lain, status hukum LP2B justru membatasi hak pemanfaatan mereka atas tanahnya, tanpa kompensasi atau insentif yang memadai.
Mengacu pada teori implementasi kebijakan Mazmanian dan Sabatier, keberhasilan suatu kebijakan bergantung pada kejelasan tujuan, sumber daya pelaksana, komitmen, dan dukungan kondisi sosial ekonomi. Dalam kasus LP2B, kendati tujuannya jelas—menjaga ketahanan pangan melalui pelestarian lahan pertanian—implementasinya terkendala oleh kurangnya insentif kepada pemilik lahan, lemahnya kapasitas pemerintah daerah, serta rendahnya literasi kebijakan di tingkat akar rumput.
Tidak adanya insentif fiskal (seperti subsidi, insentif pajak, atau bantuan langsung) bagi pemilik lahan LP2B menciptakan beban regulasi sepihak. Hal ini memicu resistensi dan pelanggaran yang berlangsung secara informal. Akibatnya, meskipun status lahan tercatat sebagai LP2B, banyak di antaranya telah berubah fungsi dalam praktiknya.
Solusi yang ditawarkan antara lain meliputi:
- Evaluasi berkala terhadap kelayakan lahan LP2B dengan partisipasi masyarakat dan ahli pertanian.
- Penerapan skema insentif bagi lahan yang tetap dipertahankan sebagai LP2B.
- Edukasi kepada pemilik lahan mengenai urgensi LP2B untuk ketahanan pangan.
- Penguatan basis data spasial dan kepemilikan yang akurat dan terintegrasi.
- Pendekatan hukum yang restoratif dan tidak semata-mata represif.
Dengan mengatasi persoalan-persoalan struktural ini, maka kebijakan LP2B yang secara substansi sudah sangat strategis, akan memiliki pijakan yang kuat dalam implementasinya. Alih fungsi lahan memang tak terhindarkan dalam dinamika pembangunan, namun perlu diarahkan agar tidak menggerus basis produksi pangan nasional.
Penulis : Dini Mulia Sari
Mahasiswi IPB University