Iklan

,

Gig Economy dan Ketidakpastian Pekerja: Siapa yang Bertanggung Jawab?

Kabar Nusantara
Jumat, 28 Maret 2025, 15.56 WIB Last Updated 2025-03-29T13:25:57Z

Gambar Ilustrasi Gig Economy dibuat oleh AI











Penulis

Anis Dwi Marthaningrum Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta


Kabar Nusantara - Perkembangan teknologi dan digitalisasi telah mengubah dunia kerja, salah satunya dengan munculnya gig economy. Model ini menawarkan fleksibilitas bagi pekerja serta efisiensi bagi perusahaan, tetapi juga menimbulkan tantangan ketenagakerjaan. Pekerja lepas, kurir, dan pengemudi transportasi daring menghadapi ketidakpastian kerja, minimnya perlindungan sosial, serta rendahnya daya tawar terhadap perusahaan. Status mereka sebagai mitra membuat mereka tidak memperoleh hak-hak dasar seperti jaminan sosial dan upah layak. Selain itu, sistem algoritma platform sering kali tidak transparan, menyebabkan pemutusan kerja sepihak. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah regulasi yang ada cukup melindungi pekerja di era digital? Tulisan ini akan menganalisis permasalahan gig economy, mengkritisi kebijakan yang ada, serta menawarkan solusi yang lebih adil agar fleksibilitas kerja tidak berujung pada eksploitasi. Regulasi yang tepat dapat menjamin kesejahteraan pekerja tanpa menghambat inovasi teknologi.


Salah satu permasalahan utama dalam gig economy adalah status pekerja yang tidak dianggap sebagai karyawan tetap, melainkan sebagai mitra atau kontraktor independen. Akibatnya, mereka tidak mendapatkan hak-hak dasar yang seharusnya dimiliki pekerja formal, seperti asuransi kesehatan, jaminan hari tua, atau pesangon saat kehilangan pekerjaan. Dalam banyak kasus, pekerja gig juga tidak memiliki akses terhadap cuti berbayar atau perlindungan terhadap kecelakaan kerja. Padahal, risiko pekerjaan mereka cukup tinggi, terutama bagi kurir dan pengemudi transportasi daring yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalan. Menurut laporan International Labour Organization (ILO), sekitar 60% pekerja di sektor gig economy di negara berkembang tidak memiliki perlindungan sosial yang memadai, termasuk di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kurangnya regulasi yang mengakomodasi kebutuhan pekerja nonformal di tengah perkembangan teknologi. Di satu sisi, platform digital diuntungkan dengan status pekerja sebagai mitra karena dapat menghindari kewajiban perusahaan terhadap hak-hak tenaga kerja. Di sisi lain, pekerja menjadi pihak yang paling rentan karena tidak memiliki daya tawar untuk memperjuangkan hak mereka.


Selain minimnya perlindungan sosial, sistem kerja berbasis algoritma yang digunakan oleh platform digital sering kali tidak transparan dan merugikan pekerja. Misalnya, dalam aplikasi transportasi daring, tarif dinamis yang diterapkan lebih banyak menguntungkan perusahaan dibandingkan pengemudi. Ketika permintaan tinggi, tarif mungkin naik, tetapi platform tetap mengambil persentase keuntungan yang besar. Sebaliknya, saat permintaan rendah, pengemudi harus bersaing mendapatkan pelanggan dengan tarif yang cenderung ditekan oleh perusahaan. Algoritma ini tidak mempertimbangkan kesejahteraan pekerja, melainkan lebih berorientasi pada efisiensi dan keuntungan perusahaan. Pemutusan kemitraan sering kali dilakukan sepihak tanpa kejelasan alasan. Beberapa kasus menunjukkan bahwa akun pekerja bisa dinonaktifkan secara mendadak, hanya berdasarkan penilaian algoritma atau laporan pelanggan yang belum tentu valid. Dengan tidak adanya mekanisme perlindungan hukum yang jelas, pekerja gig economy dapat kehilangan sumber pendapatan mereka dalam sekejap, tanpa ada kesempatan untuk membela diri atau mendapatkan kompensasi. Tidak hanya itu, pendapatan pekerja gig cenderung fluktuatif dan bergantung pada permintaan pasar. Berbeda dengan pekerja formal yang memiliki upah minimum yang dijamin, pekerja gig harus menerima sistem pendapatan yang tidak stabil. Studi dari Oxford Internet Institute (2021) menunjukkan bahwa pekerja gig di negara berkembang sering kali harus bekerja lebih dari 12 jam sehari agar bisa mendapatkan penghasilan yang layak. Beban kerja yang tinggi tanpa kepastian pendapatan ini bertentangan dengan konsep fleksibilitas yang sering dijanjikan oleh gig economy. Selain jam kerja yang panjang, pekerja gig juga tidak memiliki jaminan masa depan. Tanpa kepastian kontrak, mereka berisiko kehilangan penghasilan kapan saja, terutama ketika platform mengubah kebijakan atau menghadapi persaingan pasar.


Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat menciptakan generasi pekerja yang rentan terhadap kemiskinan, terutama ketika mereka tidak lagi mampu bekerja karena faktor usia atau kesehatan. Dari berbagai permasalahan ini, dapat disimpulkan bahwa gig economy, meskipun menawarkan fleksibilitas, juga membawa banyak tantangan bagi pekerja. Ketidakpastian kerja, minimnya perlindungan sosial, dan rendahnya daya tawar menjadi faktor utama yang membuat pekerja gig berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Oleh karena itu, regulasi yang lebih jelas dan adil diperlukan agar pekerja gig tidak hanya menjadi objek eksploitasi dalam sistem ekonomi digital yang berkembang pesat ini.


Untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil bagi pekerja gig, diperlukan langkah konkret dalam regulasi dan kebijakan yang memastikan mereka mendapatkan hak serta perlindungan yang layak. Saat ini, banyak pekerja gig berstatus sebagai pekerja lepas atau kontrak tanpa perlindungan yang cukup, sehingga rentan terhadap eksploitasi dan ketidakpastian pendapatan. Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah meninjau kembali status pekerja di platform digital dan memastikan mereka memperoleh hak-hak dasar seperti jaminan sosial, perlindungan hukum, serta akses terhadap fasilitas kesehatan dan ketenagakerjaan. Beberapa negara seperti Spanyol dan Inggris telah menerapkan regulasi yang mengakui pekerja gig sebagai karyawan dengan hak yang lebih baik, dan Indonesia dapat mengadopsi kebijakan serupa guna menciptakan sistem ketenagakerjaan yang lebih adil dan berkelanjutan. Langkah kedua yang tak kalah penting adalah meningkatkan transparansi dalam sistem algoritma dan pengupahan yang digunakan oleh perusahaan platform digital. Banyak pekerja gig tidak memiliki kejelasan mengenai bagaimana sistem penugasan dan pembayaran mereka ditentukan, sehingga berpotensi dimanipulasi oleh platform.


Dengan adanya regulasi yang mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan cara kerja algoritma serta skema pembagian keuntungan, eksploitasi dapat diminimalkan dan kesejahteraan pekerja lebih terjamin. Selain itu, pemerintah juga perlu menyediakan program pelatihan dan re-skilling bagi pekerja gig agar mereka memiliki keterampilan yang lebih beragam dan tidak hanya bergantung pada satu jenis pekerjaan. Dengan demikian, mereka memiliki peluang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan dengan kondisi yang lebih baik di sektor lain atau bahkan menjadi wirausaha mandiri. Dengan kombinasi regulasi yang adil, transparansi perusahaan, serta dukungan pelatihan, pekerja gig dapat menikmati lingkungan kerja yang lebih aman, stabil, dan sejahtera.


Gig economy telah mengubah lanskap ketenagakerjaan dengan memberikan fleksibilitas bagi pekerja dalam menentukan jadwal dan jenis pekerjaan yang mereka ambil. Model kerja ini memungkinkan banyak individu, termasuk pekerja lepas dan freelancer, untuk memperoleh penghasilan dengan cara yang lebih dinamis dan sesuai dengan kebutuhan mereka. Namun, tanpa regulasi yang memadai, gig economy berisiko menciptakan eksploitasi yang lebih besar, seperti ketidakpastian pendapatan, kurangnya jaminan sosial, serta minimnya perlindungan hukum bagi pekerja. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang lebih inklusif dan adil yang memastikan kesejahteraan pekerja tetap terjaga di era digital. Pemerintah harus menyeimbangkan antara fleksibilitas kerja dan perlindungan hak tenaga kerja, misalnya dengan memberikan akses terhadap jaminan sosial, aturan pengupahan yang transparan, serta perlindungan dari pemutusan kerja sepihak. Dengan regulasi yang tepat, gig economy dapat menjadi solusi ketenagakerjaan yang berkelanjutan tanpa mengorbankan hak pekerja.


Sumber Referensi

Putra, R. K., Ramadhan, A. S., Imalia, T., & Widhiati, G. (2024). Perlindungan Hukum bagi Pekerja Gig Economy: Perspektif Hukum Perdata di Indonesia. Perkara: Jurnal Ilmu Hukum dan Politik2(4), 553-564.

Stevania, M., & Hoesin, S. H. (2024). Analisis Kepastian Hukum Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Bagi Gig Worker Pada Era Gig Economy Di Indonesia. Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum11(2), 268-277.

Izza, S. R., Saharani, K. D., Ardiani, D., & Franssisca, M. L. (2024). Studi Literatur: Analisis Pengaruh Ragam Karakteristik Pekerja Ekonomi Gig terhadap Perekonomian Nasional. Journal of Regional Economics and Development1(3), 1-20.

Shafira, A., Hapsari, D. C., & Sitanggang, C. G. (2020). GIG ECONOMY DALAM ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0: URGENSI REGULASI PERLINDUNGAN KETENAGAKERJAAN TERHADAP GIG WORKERS. UIN Law Review1(1).

Fadhlulloh, Q. H., & Azhari, A. F. (2023). Perbandingan Kedudukan Hukum Pekerja Gig Economy di Indonesia, Belanda, dan Inggris. Fundamental: Jurnal Ilmiah Hukum12(2), 307-322.

Natalia, C., & Putranto, F. G. F. (2023). Kerentanan Kesejahteraan Gig Worker di Indonesia Pascapandemi. Jurnal Ekonomi Indonesia12(2), 173-186.

Latri, A. A., Riyanto, R. K., Firdaus, M. B., & Arjuna, M. G. S. (2024). Hak Pekerja di Era Gig Economy: Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Lepas dan Kontrak. Media Hukum Indonesia (MHI)2(2).