![]() |
Gambar Ilustrasi dibuat dengan AI |
Kabar Nusantara - Siapa sih yang tidak suka pedas? Survei Licorice menyatakan bahwa 93,6 persen masyarakat Indonesia menyukai makanan pedas. Rasa pedas tentunya identik dengan cabai. Menurut Suseno et al. (2022) menyatakan bahwa cabai mengandung capsaicin yang dapat menimbulkan rasa terbakar dan efek iritan yang bisa memberikan sensasi menyenangkan, sehingga rasa ini yang membuat seseorang menyukai makanan pedas.
Pada tahun 2024, produksi cabai di indonesia mencapai 14.646.811 kuintal (BPS 2025). Sentra produksi cabai di Indonesia yaitu di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Namun, perlu diketahui bahwa tidak semua wilayah merupakan penghasil cabai sehingga untuk memenuhi kebutuhan di berbagai wilayah terjadilah proses jual beli. Adanya proses jual beli mengakibatkan harga cabai terus berfluktuasi.
Berdasarkan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional yang dikelola Bank Indonesia (BI), mencatat bahwa selama bulan januari 2025 hingga april 2025 harga cabai merah terus mengalami fluktuasi. Harga cabai yang diterima di tingkat konsumen jauh lebih tinggi dibandingkan harga di tingkat produsen (petani). Rata-rata harga cabai di tingkat petani dari bulan januari hingga april hanya sebesar Rp 35.452 per kg sedangkan harga tersebut mencapai Rp 58.063 per kg di tingkat pasar. Sehingga, dapat dihitung margin pemasaran atau selisih harga produsen dan harga konsumen sebesar Rp 23.151 per kg. Besarnya margin pemasaran ini diakibatkan karena tingginya biaya pemasaran dan panjangnya rantai pemasaran sehingga setiap saluran pemasaran akan mengambil keuntungan dan harga yang diterima oleh konsumen menjadi tinggi.
Cabai merupakan salah satu produk pangan yang memiliki sifat perishable. Jauhnya jarak pengiriman ditambah infrastruktur yang kurang memadai mengakibatkan proses distribusi menjadi tidak efisien baik dari segi waktu maupun biaya, sehingga memungkinkan terjadi penyusutan atau kebusukan produk di mana berat cabai di pasar akan lebih kecil dibandingkan di tingkat petani. Untuk mengantisipasi dan meningkatkan pemanfaatan komoditas tersebut, perlu adanya upaya penanganan lebih lanjut untuk memperpanjang masa simpan dan meningkatkan nilai jual dari cabai.
Telah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) yaitu dengan fasilitasi distribusi salah satunya melalui peran dari petani champion. Apa sih petani champion itu? Petani champion adalah petani penggerak yang menjadi mitra pemerintah dalam hal ini Kementan untuk mendukung stabilisasi pasokan dan harga suatu komoditas. Nantinya, Kementan akan memberikan subsidi distribusi sebesar Rp 600/kg kepada para petani untuk mengirim cabainya ke pasar-pasar induk.
Dengan adanya petani champion, distribusi menjadi lebih terintegrasi. Petani champion dapat memotong rantai pemasaran cabai yang relatif panjang karena petani dapat menjual cabai langsung kepada para petani champion. Selain itu, untuk mendukung proses distribusi, perlu adanya penguatan infrastruktur pasca panen. Untuk komoditas cabai sendiri misalnya melalui pengadaan cold storage dan fasilitas pengeringan, tetapi kedua fasilitas ini sulit diakses karena biayanya yang mahal.
Bantuan penyaluran penggunaan cold storage memang sudah tercantum dalam kebijakan Direktorat Jenderal Hortikultura yang mengacu kepada arah kebijakan Kementerian Pertanian dan tugas pokok dan fungsi Direktorat PPHH serta arah kebijakan Renstra Direktorat Jenderal Hortikultura tahun 2020-2024 tentang penguatan hilirisasi produk, tetapi penyalurannya masih belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, kapasitas cold storage dirasa belum sesuai dengan yang dibutuhkan. Pemberian cold storage saat ini masih difokuskan pada pengembangan produk perikanan. Sehingga, perlu adanya perhatian pada komoditas hortikultura, khususnya cabai karena produk ini mudah mengalami kebusukan. Sebagai upaya percepatan, pemerintah dalam hal ini dapat menjalin kerja sama dengan perusahaan swasta.
Selain itu, proses pengolahan cabai menjadi produk yang lebih tahan lama, misalnya cabai kering atau cabai bubuk juga menjadi salah satu upaya yang dapat dilakukan. Tetapi, yang menjadi PR penting dalam hal ini adalah bagaimana membiasakan budaya memasak menggunakan bahan-bahan instan. Sehingga perlu adanya peran pemerintah dan swasta dalam mempromosikan kebiasaan ini.
Peran penyuluh pertanian juga menjadi penting terutama dalam hal memberikan informasi harga pasar kepada para petani, sehingga petani mengetahui bagaimana harga cabai di pasar dan memiliki nilai tawar. Perluasan program kemitraan juga dapat menjadi solusi untuk memotong proses pemasaran, misalnya petani dapat menjual cabai langsung ke offtaker (ritel, restoran, dll) atau melalui online store. Dalam hal ini perlu adanya peran dari penyuluh pertanian untuk memberikan penyuluhan/sosialisasi terkait dengan digitalisasi agribisnis sebagai bekal petani dalam melakukan penjualan online.
Penulis: Kania Devy An Nur
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Ekonomi IPB