Kabar Nusantara - Setiap tanggal 20 Mei, bangsa ini kembali membuka lembar sejarah tentang sebuah peristiwa penting yang menandai bangkitnya kesadaran nasional: berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908. Momen itu bukan sekadar awal dari pergerakan politik bangsa, tapi juga menjadi titik tolak lahirnya semangat kolektif untuk meraih kemerdekaan, membangun peradaban, dan menyatukan Indonesia sebagai sebuah bangsa.
Salah satu tokoh sentral dalam sejarah itu adalah Dr. Soetomo, dokter muda lulusan STOVIA yang menyulut api perubahan bukan dengan senjata, melainkan dengan ide, etika, dan komunikasi. Sebagai bagian dari Universitas Dr. Soetomo Surabaya, saya merasa memiliki kedekatan batin dan tanggung jawab moral untuk kembali menyuarakan nilai-nilai keteladanan beliau. Terlebih di Hari Kebangkitan Nasional ke-117 tahun ini yang mengusung tema: "Bangkit Bersama Wujudkan Indonesia Kuat", maka komunikasi beretika seperti yang dicontohkan Dr. Soetomo menjadi salah satu fondasi penting dalam mewujudkan kekuatan kolektif tersebut
Komunikasi sebagai Nafas Kebangkitan
Boedi Oetomo lahir bukan sekadar sebagai organisasi, tetapi sebagai ruang komunikasi modern yang inklusif dan strategis. Dr. Soetomo sadar bahwa kekuatan gagasan mampu menembus sekat-sekat etnis, kelas sosial, dan latar belakang. Ia menyadari bahwa narasi yang disampaikan dengan etika dapat membangun solidaritas dan membangkitkan kesadaran nasional.
Dalam konteks komunikasi modern, apa yang dilakukan Dr. Soetomo bisa kita sebut sebagai bentuk awal dari komunikasi strategis. Ia menyampaikan pesan perjuangan melalui cara yang elegan, menggunakan bahasa yang mempersatukan, dan menciptakan jejaring yang mengakar di berbagai wilayah Nusantara. Semangat inilah yang hari ini perlu kita warisi, bahwa komunikasi bukan semata urusan menyampaikan pesan, tetapi juga merawat harapan dan membangun masa depan.
Etika Digital sebagai Pilar Kebangkitan
Hari ini, kita hidup dalam ekosistem digital yang penuh tantangan. Media sosial menghadirkan ruang dialog terbuka, tetapi juga berpotensi menjadi ruang gaduh yang dipenuhi hoaks, ujaran kebencian, dan polarisasi. Di sinilah keteladanan Dr. Soetomo menemukan urgensi barunya. Komunikasi etis yang ia wariskan bukan hanya relevan, tetapi menjadi kunci untuk membangun Indonesia yang kuat.
Etika digital harus menjadi kompas moral kita di tengah derasnya arus informasi. Pesan yang kita sampaikan hari ini tidak lagi hanya terdengar di satu ruang, melainkan bisa menyebar lintas batas dalam hitungan detik. Oleh karena itu, verifikasi informasi, penggunaan bahasa yang membangun, dan sikap saling menghargai adalah bagian dari tanggung jawab kebangsaan kita sebagai warga digital.
Mari kita tegaskan kembali lima prinsip etika digital yang relevan sebagai bentuk aktualisasi nilai-nilai kebangkitan: (1) Verifikasi sebelum berbagi informasi; (2) Menolak ujaran kebencian dan provokasi; (3) Menggunakan media sosial untuk edukasi dan kolaborasi; (4) Menghargai perbedaan dan keberagaman; (5) Berani bersikap bijak dan dewasa dalam menanggapi isu publik dan diskusi terbuka.
Dengan etika digital, kita tidak hanya menjaga ruang komunikasi, tetapi juga memperkuat fondasi peradaban bangsa di era disrupsi informasi.
Komunikasi yang Mempersatukan
Peringatan Hari Kebangkitan Nasional bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi juga membangun keberlanjutan perjuangan. Tema “Bangkit Bersama Wujudkan Indonesia Kuat” mengandung pesan penting bahwa kekuatan bangsa ini tidak mungkin terwujud tanpa kolaborasi lintas sektor, persatuan seluruh elemen masyarakat, dan komitmen generasi muda terhadap nilai kebangsaan.
Hari ini, tantangan kita mungkin tidak lagi berupa penjajahan fisik, tapi penjajahan narasi. Di tengah banjir informasi dan algoritma yang mempersempit wawasan (echo chamber), kita harus mampu menjadi komunikator kebangsaan yang menyuarakan harapan, bukan ketakutan; menyulam persatuan, bukan memecah belah.
Seorang guru, pejabat publik, jurnalis, pelajar, ataupun warganet sejatinya memikul peran yang sama: menjadi penjaga makna dalam setiap pesan yang ia sampaikan. Di sinilah peran komunikasi strategis dan beretika menjadi alat perjuangan baru.
Menjadi Komunikator Kebangsaan
Meneladani Dr. Soetomo di era digital bukan berarti mengulang strategi masa lalu, tetapi mengaktualkan nilai-nilai lamanya dengan pendekatan baru. Kita perlu menjadi komunikator yang tidak hanya cakap secara teknis, tapi juga tangguh secara moral dan bijak secara strategis: (1) Di ruang publik digital, jadilah pelurus narasi yang membingungkan; (2) Di tengah banjir informasi, jadilah sumber yang dapat dipercaya; dan (3) Di antara polarisasi, jadilah jembatan yang menyatukan
Kita semua, apapun profesinya, punya tanggung jawab membangun peradaban komunikasi yang sehat, inklusif, dan bernilai. Inilah kebangkitan nasional versi baru, bukan sekadar mengenang sejarah, tapi mewujudkan nilai perjuangan dalam komunikasi sehari-hari.
Sebab bangsa yang kuat adalah bangsa yang komunikasinya sehat. Dan komunikasi yang sehat lahir dari individu-individu yang sadar akan etika, tanggung jawab, dan dampak sosial dari setiap kata yang diucapkan dan dituliskan.
Kebangkitan yang Berkelanjutan
Momentum Hari Kebangkitan Nasional ke-117 ini adalah saat yang tepat untuk menyalakan kembali semangat kolektif kita. Jika dulu Budi Utomo lahir dari kesadaran para pemuda terpelajar atas pentingnya pendidikan dan persatuan, maka hari ini kita bangkit bersama dalam semangat digital yang etis, inklusif, dan kolaboratif.
Mari menjadi bagian dari kebangkitan baru Indonesia, bukan dengan demonstrasi jalanan, tetapi dengan demonstrasi nilai. Menjadi komunikator strategis yang mencintai negeri ini lewat cara berpikir, cara berbicara, dan cara bersikap.. Karena seperti kata bijak: “Bangsa besar adalah bangsa yang tidak hanya mengenang pahlawannya, tetapi juga melanjutkan perjuangannya.”