Iklan

,

Gen-Z dan Milenial Generasi Akan Terancam Dalam Kemiskinan? Kenali Doom Spending dan Solusinya

Kabar Nusantara
Selasa, 10 Desember 2024, 23.12 WIB Last Updated 2024-12-10T17:45:44Z


Penulis : Rianita Oktaviani Hakim


Kabar Nusantara - Gen Z dan milenial belakangan ini menjadi topik pembicaraan di media sosial, Doom spending yang akan rentan jatuh dalam kemiskinan.  Apa alasan nya? Dikarenakan sikap yang terlalu boros dalam mengeluarkan uang secara impulsif. Mereka dengan sangat mudahnya mengeluarkan uang untuk membeli sesuatu yang benar-benar tidak bermanfaat hanya ingin exstensi semata dikalangan mereka. Dalam istilah “ga gaul kalo ga gaya”. Mereka membeli barang yang sebenarnya tidak diperlukan karena terlalu tingginya keinginan supaya mereka dapat diakui dikalangan Gen-Z dan Milineal. Dan tanpa sadar menguras isi tabungannya untuk hal-hal yang percuma. Jika terus dibiarkan dan terus dilanjutkan akan memiskinkan mereka di masa depan. Untuk itu Gen-Z dan Milenial harus mengenal perilaku “Doom Spending” tersebut.Berdasarkan kajian Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran diperkirakan akan mencapai 5,86% pada tahun 2023, dan mayoritas pengangguran diperkirakan adalah kaum muda. Hal ini memberikan tekanan tambahan pada generasi Z, yang seringkali mencari jalan keluar melalui perilaku belanja yang tidak terkendali.


Sikap yang seperti ini menggambarkan perilaku belanja secara berlebihan (impulsif) atau disebut juga dengan doom spending. Berdasarkan informasi Psychologi Today mengenai “Doom spending”. Menurutnya Doom Spending sering terjadi di Amerika, fenomena ini terjadi ketika seseorang melakukan belanja tanpa berfikir Panjang ( impulsif ) atau kegiatan menghamburkan atau mengeluarkan uang untuk hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu diinginkan.Ternyata, fenomena doom spending ini tak hanya terjadi di Amerika, melainkan juga di beberapa negara lain. Mungkin juga melibatkan Indonesia


Kemungkinan Gen-Z adalah Generasi yang paling miskin untuk kedepannya. Mengapa demikian bisa dikatakan paling miskin Gen-Z ini lahir pada Era digital yang mana mudah untuk mengakses kemanapun entah itu Media Sosial atau platform-platform belanja online. Jadi demikian Gen-Z sangat rentan untuk melakukan Impulsif buying. Di era digital saat ini jika tidak pandai-pandai memilah dan memanfaatkan media sosial akan berdampak buruk untuk diri sendiri. kembali kepada diri pribadi masing-masing mau menghasilkan atau malah menghabiskan. Jika ingin berpeluang memperoleh penghasilan para Gen-Z harusnya dapat mengexplore kreatifitas mereka, tetapi jika mereka terlena dengan medsos dan terbuai dengan iklan dan trand semata mereka tidak akan sadar bahwa sudah terpengaruh.


Betapa banyak ketika di antara mereka memasuki dunia kerja ketika terjadi pandemi yang mendera, di tengah melonjaknya utang, tingkat inflasi yang tinggi yang diperkirakan selama puluhan tahun, dan harga tempat tinggal yang semakin lama semakin naik harganya hingga tidak terjangkau. Dalam kondisi yang semakin sempit seperti ini, banyak di antara mereka memilih untuk memaksakan diri sehingga merasa dirinya penuh tekanan dengan melakukan pengeluaran yang tidak masuk akal: secara impulsif Belilah barang-barang yang sebenarnya tidak Anda perlukan atau tidak mampu Anda beli untuk mengatasi rasa cemas tersebut. Namun, perbaikan emosional jangka pendek dapat menyebabkan masalah keuangan dengan jangka waktu yang panjang.


Mengutip buku “Manajemen Ritel Modern” Ni Dewi Ikka (2024: 97), pembelian yang tidak terencana dan impulsif merupakan salah satu pola belanja konsumen.


Sikap ini terjadi ketika konsumen mempunyai keinginan yang kuat untuk segera mengeluarkan uangnya.Sehinga akan menyesal setelah membeli sesuatu secara impulsif, seringkali muncul perasaan menyesal karena barang tersebut tidak terlalu dibutuhkan atau tidak sesuai ekspetasi. dari penyebab dampak yakni sulit untuk menabung, dengan pengeluaran yang tidak terkendali akan sulit untuk menyisihkan uang untuk tabungan jangka pendek atau jangka Panjang. Sering kali Gen Z melihat barang baru yang sedang trend di media sosial atau FOMO ( fear of missing out ) atau takut ketinggalan dan pengeluaran YOLO (you only life once). Sebagai contoh “saya membeli banyak pakaian baru karena takut ketinggalan tren” atau “saya membeli banyak gadget terbaru kerana khawatir ketinggalan informasi. prediksi tersebut juga didukung oleh survei keuangan internasional yang dilakukan CNBC dan Survey Monkey. Survei tersebut menemukan bahwa hanya 36,5 persen orang dewasa yang merasa kondisi finansial mereka lebih baik dibandingkan orang tua mereka.Di sisi lain, 42,8% lainnya menyatakan bahwa situasi keuangan mereka semakin memburuk.Dan jajak pendapat lain yang dilakukan oleh Intuit Credit Karma pada November 2023 menemukan bahwa 96 persen warga Amerika mengkhawatirkan keadaan perekonomian.


Perilaku impulsif buying ini diperburuk karena adanya fitur Pay Later yang ditawarkan oleh berbagai platform belanja online. Otoritas jasa keuangan (ojk) melaporkan bahwa utang warga RI di Pay Later mencapai Rp 26.37 Trilliun. Dalam hal ini, doom spending dipicu oleh rasa takut akan penolakan sosial jika tidak mengikuti tren terkini. Pembelian pakaian dan gadget yang terus menerus dianggap sebagai cara untuk mengaja citra diri dan merasa aman meskipun barang yang sudah dimiliki masih berfungsi dengan baik. Pada contoh ini merupakan argumentasi bahwa seseorang langsung terdorong untuk membelinya tanpa mempertimbangkan kembali. Dengan menggunakan kartu kredit untuk membeli barang-barang mewah dengan harapan bisa meningkatkan mood dan meyelesaikan masalah. Tentunya fenomena ini dampak dari tekanan masyarakat di lingkungan hidupnya dan teman-teman sebayanya. Berikut Langkah awal untuk mengatasi doom spending sebagai berikut,


Dengan Kenali Pemicunya : mengenali terlebih dahulu penyebab utama pemicunya.jika tidak memiliki arahan dan keinginan kuat untuk maju akan membuat hilangnya potensi diri.

Lalu dapat juga terjadi pemicunya karena terpengaruh lingkungan sekitar, pemicu justru dampak berpengaruh pada orang terdekat seperti teman sebaya dan apakah pemicunya dari stres karena tidak ada pilihan untuk berkarya.


Rutin mengecek Anggaran : seberapa besar pengeluaran setiap minggunya. Jika kita dapat membuat anggran, pasti dapat mengontrol pengeluaran belanja. Menyisihkan sebagian uang yang ingin dibelanjakan. kita dapat membuat anggaran dengan mencatat setiap pengeluaran yang kita keluarkan


Mindful spending : tentukan skala prioritas hendaklah berfikir sebelum mebeli sesuatu. Tanyakan pada dirimu sendiri apakah barang yang dibeli akan bermanfaat. Mementingkan segala keperluan dari pada keinginan.biasanya seperti ini akan menyesal dikemudian hari karena barang tidak sesuai ekspetasinya.


Belajar untuk Menabung : dengan menyisihkan sebagian penghasilanmu atau belanjaan mu untuk tujuan tertentu. Dengan menabung konsisten walaupun minimalnya kecil. Dengan menyisihkan sedikit saja akan lebih baik daripada tidak sama sekali. Bahkan investasi kecil bisa tumbuh menjadi tabungan yang besar seiring waktu.


Gunakan Aplikasi Keuangan : untuk melacak berapa banyak pengeluaran dan lihat bagaimana pola belanja Anda. Dengan begitu anda bisa mengevaluasi dan memperbaiki kebiasaan belanja secara hemat. Daripada berbelanja, carilah aktivitas yang mengurangi stres dan kecemasan tanpa menghabiskan banyak uang, seperti berolahraga, bermeditasi, atau mengobrol dengan teman. Kegiatan-kegiatan ini memberikan pelampiasan emosi yang lebih sehat.