Iklan

,

Angkat Persoalan Kearifan yang Ironis, Cholsverde Hadirkan Ratusan Ban Motor dengan Kolektif Drawing Performatif

Kabar Nusantara
Selasa, 25 November 2025, 18.02 WIB Last Updated 2025-11-25T11:09:41Z

Kabar Nusantara - Splitting Karst adalah sebuah pertunjukan eksplorasi artistik yang mengajak penontonn untuk menggugah renungan kritis tentang relasi manusia dengan alam khususnya dalam konteks kasua pembelahan bukit dan tanah yang memiliki dampak dari aktivitas manusia terhadap lingkungan yang penuh konflik, ironis, dan tak terungkapkan. Karya ini menyuguhkan eksperimen visual, fisik, dan konseptual yang mendalami peran garis dan goresan baik yang dihasilkan oleh tangan manusia maupun yang ditinggalkan oleh eksploitasi terhadap alam.


Pada Mei Bulan Menggambar Nasional dalam rangka Hari Menggambar Nasional di Yogyakarta, pertunjukan ini hadir di Pameran Gambar Serentak se-Daerah Istimewa Yogyakarta, dibuka oleh Bupati Gunungkidul, ibu Endah Subekti Kuntariningsih, dan Dikuratori oleh Bapak Hajar Pamadhi. Karya ini mengangkat isu yang tak hanya relevan di Gunungkidul, tetapi juga sedang genting di seluruh dunia: eksploitasi alam yang tak terkendali. Splitting Karst mengajak audiens untuk mempertanyakan ulang paradigma pembangunan, dalam konteks sosial, ekologis, dan spiritual, yang selama ini didorong oleh modernitas yang hampir hadir tanpa reflektif.


Drawing Performance Theatre: SPLITTING KARST oleh Kolektif Drawing Performatif Performers: Cholsverde, Muchlis Mustafa, Monika, Amin Kancana Eppak, Panji Satria

Installation Direction : Cholsverde Date: 25 February 2025 

Event: Pameran Gambar Serentak se-Daerah Istimewa Yogyakarta TIMBANG RASA, Sewokoprojo, Gunungkidul


Bertempat di sebuah wilayah yang seolah menjadi saksi bisu terhadap perusakan karst yang semakin meluas, Splitting Karst mengundang kita untuk merenung melalui media seni: teater yang dipadukan dengan drawing dan instalasi performatif. Pertunjukan ini bukanlah sebuah kritik sederhana terhadap kerusakan alam, melainkan sebuah perenungan mendalam tentang bagaimana eksploitasi ruang hidup manusia, dalam bentuk pembangunan infrastruktur yang tergesa-gesa dan tanpa kompromi, telah merusak keseimbangan yang ada. Gunungkidul, dengan karakteristik alam karst-nya yang khas, menjadi latar belakang sempurna untuk membicarakan isu ini di mana tanah yang dihancurkan, bukit yang dibelah, dan ekosistem yang dihilangkan tanpa proses yang melibatkan masyarakat setempat, adalah fenomena yang semakin sering kita lihat.


Pertunjukan ini menggunakan elemen-elemen yang terasa sangat nyata dan menyentuh indera: ratusan ban kendaraan bermotor, asap tebal, cahaya yang berubah-ubah, dan tentu saja tubuh para pemain yang berinteraksi dengan objek dan lingkungan. Semua itu dirancang untuk menyajikan eksperimen artistik yang menggali kemungkinan-kemungkinan baru dalam penggambaran garis, goresan, dan gerak tubuh. Namun, Splitting Karst menegaskan bahwa ini bukan sekadar pertanyaan tentang menentang atau mendukung pembangunan. Lebih dari itu, karya ini membuka ruang bagi kita untuk melakukan introspeksi kritis tentang bagaimana kita berinteraksi dengan alam dan ruang sosial kita. Apakah pembangunan hanya dilihat sebagai alat kemajuan material, tanpa melihat peran penting interaksi sosial dan spiritual dalam membentuk lingkungan kita? Dalam seni ini, garis yang digoreskan bukan sekadar elemen estetis, melainkan juga simbol dari jejak kita di bumi yang terus menggema, dari tiap tindakan yang diambil tanpa menyadari dampaknya.


Melalui penggunaan elemen-elemen seperti ratusan ban kendaraan bermotor, asap, cahaya yang silau, dan tubuh yang bergerak, para pemain dalam Splitting Karst seolah-olah membentuk sebuah kontinum antara manusia dan alam—terkoneksi dalam irama yang tak terhindarkan, penuh kontradiksi, dan penuh konflik. Keterlibatan tubuh dalam performansi ini bukan hanya sebagai representasi fisik, tetapi lebih kepada suatu upaya untuk membangkitkan kesadaran: kita adalah bagian yang tak terpisahkan dari ekosistem ini, dan setiap garis, goresan, dan gerakan yang kita buat di dunia ini memiliki resonansi yang jauh lebih dalam dari yang kita bayangkan.


Apa yang lebih dalam dari sebuah pertunjukan ini adalah dialog yang dibangun dengan audiens, menggugah mereka untuk merenungkan bukan hanya apa yang terjadi di sekitar mereka, tetapi juga apa yang terjadi di dalam diri mereka: pertanyaan mendasar mengenai bagaimana kita sebagai manusia dengan segala ambisi dan hasrat kita harus menghadapinya. Splitting Karst mengajak kita untuk bertanya: bagaimana kita dapat menyelaraskan keinginan untuk berkembang dengan kebutuhan untuk menjaga ekosistem dan budaya lokal? Apakah kita, sebagai bagian dari pembangunan yang terus berlangsung, cukup menghargai dimensi yang lebih holistik dari kehidupan yang lebih luas?



Dengan demikian, Splitting Karst bukanlah sekadar pernyataan artistik yang melibatkan aksi-aksi fisik yang menggugah atau visual yang kuat. Ia adalah sebuah pernyataan filosofis dan politik yang memantik perdebatan tentang ekosentrisme, keberlanjutan, dan keadilan sosial. Karya ini membawa kita pada pemikiran yang lebih dalam: bagaimana tindakan kita terhadap alam, baik dalam seni maupun kehidupan sehari-hari, bisa menjadi bentuk pernyataan keberpihakan terhadap ekosistem yang tak terlihat, yang begitu rapuh namun sangat menentukan keberlanjutan kehidupan manusia itu sendiri.


Melalui eksperimen artistik ini, kita semua berharap dapat menciptakan ruang di mana seni tidak hanya menjadi cermin dari kondisi sosial kita, tetapi juga alat untuk mempengaruhi persepsi dan perilaku kita terhadap dunia yang lebih luas. Splitting Karst mengundang audiens untuk merenung: kita sebagai manusia tidak hidup terpisah dari alam, dan setiap tindakan yang kita ambil, baik itu dalam seni, pembangunan, atau dalam kehidupan sehari-hari, haruslah menyadari keterkaitan itu. Sebuah perenungan tentang batas-batas pengaruh kita, dan sejauh mana kita mampu menanggung konsekuensi dari jejak yang kita tinggalkan di muka bumi ini.


Terima kasih atas keterlibatan Anda, mari kita bersama-sama membuka mata dan pikiran untuk sebuah dialog yang lebih dalam tentang bagaimana kita bisa hidup berdampingan dengan alam dan budaya, bukan dengan cara merusaknya.