Suara Bambu Bergema di Jalan Pahlawan dalam Dies Natalis ke-38 Universitas Semarang
Kabar Nusantara - Semarang, 22 Juni 2025 — Suasana Car Free Day (CFD) di kawasan Jalan Pahlawan, Simpang Lima, Semarang, pagi itu terasa berbeda. Bunyi bambu yang saling bersahutan mengalun harmonis mengisi udara segar pagi hari. Dalam rangka memperingati Dies Natalis Universitas Semarang (USM) yang ke-38, mahasiswa Ilmu Komunikasi FTIK USM menghadirkan sebuah kampanye budaya bertajuk “Gema Angklung: Getar Bambu, Suara Nusantara”.
Acara yang berlangsung dari pukul 06.00 hingga 10.00 WIB ini berhasil menyedot perhatian masyarakat yang sedang berolahraga maupun sekadar menikmati suasana CFD. Mereka tak hanya menjadi penonton, tetapi juga diajak untuk memainkan langsung alat musik tradisional angklung, yang dikenal sebagai warisan budaya tak benda dari Indonesia.
Budaya sebagai Media Edukasi dan Hiburan
Dalam sambutannya, dosen pengampu mata kuliah Public Relations, Ayang Fitrianti, S.S., M.I.Kom., menjelaskan bahwa kegiatan ini tidak hanya bertujuan menghibur, tetapi juga mengedukasi masyarakat, khususnya generasi muda, tentang pentingnya melestarikan budaya lokal.
Acara diawali dengan lagu daerah yaitu Manuk dadali yang dibawakan menggunakan angklung, menciptakan suasana nasionalisme yang berpadu indah dengan semangat budaya.
Setelah itu, perwakilan dari Komunitas Putra Angklung Semarang memberikan edukasi tentang sejarah, filosofi, serta cara memainkan angklung. Suasana menjadi lebih hidup saat ratusan peserta dari berbagai usia mencoba memainkan nada-nada sederhana bersama-sama.
Antusiasme Masyarakat dan Nuansa Interaktif
Tak hanya pertunjukan, kampanye budaya ini juga menyuguhkan berbagai permainan edukatif, seperti “Tebak Nada” dan “Kuis Angklung” yang berhasil menciptakan interaksi penuh keceriaan antara panitia dan pengunjung.
“Saya datang untuk jogging, tapi malah ikut main angklung. Baru tahu kalau ternyata mainnya seru dan nggak sesulit yang saya kira,” ungkap Tasya (25), salah satu pengunjung CFD.
Suasana makin meriah saat pertunjukan angklung membawakan lagu-lagu daerah dan populer, seperti "Ampar Ampar Pisang “Stecu Stecu”, “Perahu layar”. Banyak anak-anak dan remaja terlihat antusias mengikuti irama, bahkan ikut bernyanyi dan berjoget di depan stand.
“Acaranya asik, bisa main bareng-bareng dan belajarnya nggak terasa kayak belajar. Jadi tahu angklung itu bukan cuma buat lagu tradisional,” ucap Indry (30), mahasiswa salah satu kampus swasta di Semarang.
Suara Angklung, Gema Identitas Bangsa
Dengan total waktu empat jam yang diisi dengan edukasi budaya, pertunjukan musik, dan permainan, acara ini mampu menggabungkan fungsi edukatif, partisipatif, dan hiburan dalam satu rangkaian. Terbukti, banyak pengunjung yang bertahan hingga akhir acara dan memberikan kesan positif.
“Kami sangat mengapresiasi mahasiswa yang mau bergerak melestarikan budaya seperti ini. Harapannya bisa rutin diadakan, dan kalau bisa menjangkau sekolah-sekolah juga,” ujar Bu Seha (47).
Kampanye “Gema Angklung: Getar Bambu, Suara Nusantara” menjadi bukti bahwa tradisi tak pernah usang, asalkan dikemas dengan cara yang kreatif dan dekat dengan masyarakat. Suara bambu yang sederhana itu kini telah menggema di ruang publik, menembus batas generasi, dan kembali hidup dalam semangat kolaborasi serta cinta budaya.