Iklan

,

Kolaborasi: Narasi Komunikasi Hari Buruh 2025

Kamis, 01 Mei 2025, 09.25 WIB Last Updated 2025-05-01T02:48:09Z


Kabar Nusantara - Hari Buruh Internasional 2025 membawa semangat baru ke ruang publik Indonesia. Dengan tema "May Day is Kolaborasi Day," peringatan tahun ini mencoba membalik narasi lama: dari yang semula sarat ketegangan menjadi ruang dialog dan kolaborasi. Tema ini bukan sekadar slogan seremonial, melainkan ajakan untuk membangun ulang hubungan antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan setara.


Dalam ilmu komunikasi, narasi publik adalah denyut perubahan sosial. Ketika narasi baru digulirkan dan diterima, ia bisa membentuk opini, menggeser persepsi, bahkan menciptakan kenyataan sosial yang baru. Kolaborasi Day adalah upaya membingkai ulang Hari Buruh bukan sebagai hari pertentangan, tetapi sebagai momentum kolaboratif untuk menyeimbangkan hak dan tanggung jawab di dunia kerja.


Namun, bisakah semangat kolaborasi benar-benar menembus realitas ketimpangan yang masih terjadi di dunia kerja? Bisakah kolaborasi menjadi jalan tengah yang adil antara tuntutan pekerja dan kepentingan pengusaha? Jawabannya bergantung pada sejauh mana konsep ini diterjemahkan dalam tindakan nyata, bukan hanya berhenti di panggung seremonial.

 

Komunikasi dan Kepercayaan

Narasi bukan hanya soal pesan yang disampaikan, tetapi juga tentang bagaimana pesan itu membentuk realitas sosial. Tema Kolaborasi yang digaungkan Kemnaker bukan semata kampanye media sosial; ia mencerminkan upaya untuk menyusun ulang persepsi publik terhadap Hari Buruh. Jika sebelumnya May Day dipandang sebagai hari mogok atau unjuk rasa, kini sedang diupayakan agar menjadi hari perundingan, kerja sama, dan keterlibatan komunikatif.

Namun, kolaborasi tidak akan tumbuh di atas ketimpangan. Hubungan industrial yang sehat hanya bisa terwujud jika ada rasa aman, setara, dan saling percaya. Di sinilah tantangan dimulai, terutama ketika praktik-praktik pelanggaran hak pekerja masih terjadi, ironisnya, justru kerap menghambat ruang dialog itu sendiri.

 

Kasus Penahanan Ijazah

Salah satu ironi yang mencuat ke permukaan adalah praktik penahanan ijazah oleh perusahaan. Di Surabaya, sebuah perusahaan manufaktur menahan ijazah puluhan karyawan sebagai jaminan agar mereka tidak mengundurkan diri sebelum kontrak kerja selesai. Praktik ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak fondasi komunikasi industrial: kepercayaan.


Padahal, ijazah bukanlah dokumen hutang-piutang, melainkan identitas akademik seseorang. Menahannya sama saja dengan membatasi hak mobilitas pekerja, bahkan hak untuk mengembangkan diri secara profesional. Di Gresik, kasus serupa terjadi di sebuah salon kecantikan, di mana pemilik menahan ijazah pekerja dan mengenakan denda sebesar Rp5 juta jika mereka mengundurkan diri sepihak. Meskipun ada perjanjian kerja tertulis, praktik semacam ini tetap bertentangan dengan prinsip dasar hubungan kerja yang adil dan setara.


Penahanan ijazah bukan bentuk kolaborasi, melainkan dominasi. Ini mengubah relasi kerja menjadi relasi kuasa yang timpang, di mana pekerja diposisikan sebagai pihak yang harus tunduk dan "diikat" secara paksa. Inilah tantangan utama dari jargon Kolaborasi Day, sebuah pekerjaan rumah bersama untuk menggeser pola pikir lama yang masih memandang pekerja bukan sebagai mitra, melainkan sebagai objek kontrol.

 

Pemerintah Sebagai Penengah

Merespons situasi ini, Pemerintah Kota Surabaya dan Dinas Tenaga Kerja Gresik bergerak cepat. Mereka memediasi, menyegel, dan mengembalikan ijazah kepada yang berhak. Langkah ini penting sebagai sinyal bahwa negara hadir, bahwa hukum tak boleh dikesampingkan atas nama kebijakan internal perusahaan.


Pemerintah Provinsi Jawa Timur, di bawah komando Gubernur Khofifah Indar Parawansa, juga mengambil langkah konkret. Gubernur Khofifah menegaskan bahwa penahanan ijazah oleh perusahaan merupakan tindakan yang tidak dibenarkan secara hukum dan bertentangan dengan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Timur Nomor 8 Tahun 2016 Pasal 42, yang melarang pengusaha menyimpan dokumen asli milik pekerja sebagai jaminan kerja. Sebagai solusi darurat, Pemprov Jatim siap memfasilitasi penerbitan ulang ijazah bagi para pekerja terdampak, khususnya lulusan SMA/SMK yang berada di bawah kewenangan Pemprov. Selain itu, Pemprov juga menjadi fasilitator penting dalam menciptakan ruang dialog tripartit yang terbuka dan berkelanjutan antara serikat pekerja, pengusaha, dan pemerintah.


Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa peran pemerintah bukan sekadar penegak hukum, tetapi juga sebagai pembangun jembatan komunikasi. Komunikasi publik yang partisipatif, transparan, dan membumi perlu terus diperkuat, agar buruh mengetahui haknya, pengusaha memahami batasnya, dan masyarakat turut mendukung terciptanya iklim kerja yang berkeadilan.

 

Ekosistem Kolaboratif

Kolaborasi sejati tidak lahir dari keterpaksaan, melainkan dari kesadaran. Oleh karena itu, kolaborasi dalam konteks Hari Buruh bukan hanya soal duduk bersama dalam forum tripartit, tetapi membangun ekosistem komunikasi industrial yang sehat: adanya perundingan bersama, kebebasan berserikat, hak menyampaikan aspirasi tanpa intimidasi, serta perlindungan yang adil bagi semua pihak.


Investor pun akan lebih percaya menanamkan modal di daerah yang mampu menunjukkan stabilitas hubungan kerja, transparansi hukum, dan etika bisnis. Ketika narasi ketenagakerjaan diisi dengan kisah keadilan, bukan sekadar konflik, maka citra Indonesia sebagai tempat usaha yang inklusif akan semakin kuat.

 

Menguatkan Kolaborasi

Tema May Day is Kolaborasi Day memiliki potensi besar untuk menjawab tantangan zaman. Di era ketika pekerja menghadapi ancaman otomasi, kecerdasan buatan, dan ekonomi gig yang fleksibel namun rentan, kolaborasi bukan lagi idealisme, tetapi kebutuhan mutlak.


Namun, kolaborasi tidak akan lahir tanpa keberanian membenahi praktik-praktik usang seperti penahanan ijazah, pemotongan gaji sepihak, atau pengabaian jaminan sosial. Sebaliknya, kolaborasi berarti menyadari bahwa pekerja bukan beban, melainkan aset utama. Bahwa suara buruh bukan ancaman, tetapi bahan bakar inovasi. Bahwa pemerintah bukan hanya regulator, tetapi penjaga ruang dialog.


Jika semua pihak bisa mulai dari kesadaran ini, maka Hari Buruh bukan lagi sekadar hari demonstrasi yang gaduh, tetapi hari refleksi kolektif dan langkah maju bersama. Hari ketika semua pihak berhenti saling curiga dan mulai saling mengulurkan tangan. Dan dari sanalah, kolaborasi akan menemukan rumahnya.


 

*) Dr. Zainal Muttaqin, S.Kom, M.I.Kom, CPR, CGAM. adalah Dosen Ilmu Komunikasi Unipdu Jombang dan Kepala Bagian Humas Kantor Gubernur Jawa Timur