Kabar Nusantara - Hari Buruh Internasional 2025 membawa
semangat baru ke ruang publik Indonesia. Dengan tema "May Day is
Kolaborasi Day," peringatan tahun ini mencoba membalik narasi lama: dari
yang semula sarat ketegangan menjadi ruang dialog dan kolaborasi. Tema ini
bukan sekadar slogan seremonial, melainkan ajakan untuk membangun ulang
hubungan antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah dengan pendekatan yang lebih
manusiawi dan setara.
Dalam ilmu komunikasi, narasi publik adalah
denyut perubahan sosial. Ketika narasi baru digulirkan dan diterima, ia bisa
membentuk opini, menggeser persepsi, bahkan menciptakan kenyataan sosial yang
baru. Kolaborasi Day adalah upaya membingkai ulang Hari Buruh bukan sebagai
hari pertentangan, tetapi sebagai momentum kolaboratif untuk menyeimbangkan hak
dan tanggung jawab di dunia kerja.
Namun, bisakah semangat kolaborasi
benar-benar menembus realitas ketimpangan yang masih terjadi di dunia kerja?
Bisakah kolaborasi menjadi jalan tengah yang adil antara tuntutan pekerja dan
kepentingan pengusaha? Jawabannya bergantung pada sejauh mana konsep ini
diterjemahkan dalam tindakan nyata, bukan hanya berhenti di panggung
seremonial.
Komunikasi dan Kepercayaan
Narasi bukan hanya soal pesan yang
disampaikan, tetapi juga tentang bagaimana pesan itu membentuk realitas sosial.
Tema Kolaborasi yang digaungkan Kemnaker bukan semata kampanye media sosial; ia
mencerminkan upaya untuk menyusun ulang persepsi publik terhadap Hari Buruh.
Jika sebelumnya May Day dipandang sebagai hari mogok atau unjuk rasa, kini
sedang diupayakan agar menjadi hari perundingan, kerja sama, dan keterlibatan
komunikatif.
Namun, kolaborasi tidak akan tumbuh di atas
ketimpangan. Hubungan industrial yang sehat hanya bisa terwujud jika ada rasa
aman, setara, dan saling percaya. Di sinilah tantangan dimulai, terutama ketika
praktik-praktik pelanggaran hak pekerja masih terjadi, ironisnya, justru kerap
menghambat ruang dialog itu sendiri.
Kasus Penahanan Ijazah
Salah satu ironi yang mencuat ke permukaan
adalah praktik penahanan ijazah oleh perusahaan. Di Surabaya, sebuah perusahaan
manufaktur menahan ijazah puluhan karyawan sebagai jaminan agar mereka tidak
mengundurkan diri sebelum kontrak kerja selesai. Praktik ini tidak hanya
melanggar hukum, tetapi juga merusak fondasi komunikasi industrial:
kepercayaan.
Padahal, ijazah bukanlah dokumen
hutang-piutang, melainkan identitas akademik seseorang. Menahannya sama saja
dengan membatasi hak mobilitas pekerja, bahkan hak untuk mengembangkan diri
secara profesional. Di Gresik, kasus serupa terjadi di sebuah salon kecantikan,
di mana pemilik menahan ijazah pekerja dan mengenakan denda sebesar Rp5 juta
jika mereka mengundurkan diri sepihak. Meskipun ada perjanjian kerja tertulis,
praktik semacam ini tetap bertentangan dengan prinsip dasar hubungan kerja yang
adil dan setara.
Penahanan ijazah bukan bentuk kolaborasi,
melainkan dominasi. Ini mengubah relasi kerja menjadi relasi kuasa yang
timpang, di mana pekerja diposisikan sebagai pihak yang harus tunduk dan
"diikat" secara paksa. Inilah tantangan utama dari jargon Kolaborasi
Day, sebuah pekerjaan rumah bersama untuk menggeser pola pikir lama yang masih
memandang pekerja bukan sebagai mitra, melainkan sebagai objek kontrol.
Pemerintah Sebagai Penengah
Merespons situasi ini, Pemerintah Kota
Surabaya dan Dinas Tenaga Kerja Gresik bergerak cepat. Mereka memediasi,
menyegel, dan mengembalikan ijazah kepada yang berhak. Langkah ini penting
sebagai sinyal bahwa negara hadir, bahwa hukum tak boleh dikesampingkan atas
nama kebijakan internal perusahaan.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur, di bawah
komando Gubernur Khofifah Indar Parawansa, juga mengambil langkah konkret.
Gubernur Khofifah menegaskan bahwa penahanan ijazah oleh perusahaan merupakan
tindakan yang tidak dibenarkan secara hukum dan bertentangan dengan Peraturan
Daerah (Perda) Provinsi Jawa Timur Nomor 8 Tahun 2016 Pasal 42, yang melarang
pengusaha menyimpan dokumen asli milik pekerja sebagai jaminan kerja. Sebagai
solusi darurat, Pemprov Jatim siap memfasilitasi penerbitan ulang ijazah bagi
para pekerja terdampak, khususnya lulusan SMA/SMK yang berada di bawah
kewenangan Pemprov. Selain itu, Pemprov juga menjadi fasilitator penting dalam
menciptakan ruang dialog tripartit yang terbuka dan berkelanjutan antara
serikat pekerja, pengusaha, dan pemerintah.
Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa peran
pemerintah bukan sekadar penegak hukum, tetapi juga sebagai pembangun jembatan
komunikasi. Komunikasi publik yang partisipatif, transparan, dan membumi perlu
terus diperkuat, agar buruh mengetahui haknya, pengusaha memahami batasnya, dan
masyarakat turut mendukung terciptanya iklim kerja yang berkeadilan.
Ekosistem Kolaboratif
Kolaborasi sejati tidak lahir dari
keterpaksaan, melainkan dari kesadaran. Oleh karena itu, kolaborasi dalam
konteks Hari Buruh bukan hanya soal duduk bersama dalam forum tripartit, tetapi
membangun ekosistem komunikasi industrial yang sehat: adanya perundingan
bersama, kebebasan berserikat, hak menyampaikan aspirasi tanpa intimidasi,
serta perlindungan yang adil bagi semua pihak.
Investor pun akan lebih percaya menanamkan modal di daerah yang mampu menunjukkan stabilitas hubungan kerja, transparansi hukum, dan etika bisnis. Ketika narasi ketenagakerjaan diisi dengan kisah keadilan, bukan sekadar konflik, maka citra Indonesia sebagai tempat usaha yang inklusif akan semakin kuat.
Menguatkan Kolaborasi
Tema May Day is Kolaborasi Day memiliki
potensi besar untuk menjawab tantangan zaman. Di era ketika pekerja menghadapi
ancaman otomasi, kecerdasan buatan, dan ekonomi gig yang fleksibel namun
rentan, kolaborasi bukan lagi idealisme, tetapi kebutuhan mutlak.
Namun, kolaborasi tidak akan lahir tanpa
keberanian membenahi praktik-praktik usang seperti penahanan ijazah, pemotongan
gaji sepihak, atau pengabaian jaminan sosial. Sebaliknya, kolaborasi berarti
menyadari bahwa pekerja bukan beban, melainkan aset utama. Bahwa suara buruh
bukan ancaman, tetapi bahan bakar inovasi. Bahwa pemerintah bukan hanya
regulator, tetapi penjaga ruang dialog.
Jika semua pihak bisa mulai dari kesadaran ini, maka Hari Buruh bukan lagi sekadar hari demonstrasi yang gaduh, tetapi hari refleksi kolektif dan langkah maju bersama. Hari ketika semua pihak berhenti saling curiga dan mulai saling mengulurkan tangan. Dan dari sanalah, kolaborasi akan menemukan rumahnya.
*)
Dr. Zainal Muttaqin, S.Kom, M.I.Kom, CPR, CGAM. adalah Dosen Ilmu Komunikasi
Unipdu Jombang dan Kepala Bagian Humas Kantor Gubernur Jawa Timur