Iklan

,

Drama Musikal Lagu Cinta Sang Pecinta Ken Arok Ken Dedes Yang Menghidupkan Legenda Singhasari Dengan Sentuhan Modern

Rabu, 13 November 2024, 17.30 WIB Last Updated 2024-11-13T13:45:04Z

Penampilan Pentas Drama Musikal


Penulis: Alfa Khumaidah


Kabar Nusantara - Malang, 11 November 2024, Departemen Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang kembali menggelar pentas drama musikal sebagai bagian dari kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Departemen Sastra Indonesia (HMD). Acara ini tidak hanya menjadi wadah bagi mahasiswa untuk menyalurkan bakat dan minat, tetapi juga sebagai sarana untuk mempererat hubungan antara dosen dan mahasiswa. Salah satu pertunjukan yang mencuri perhatian adalah Lagu Cinta Sang Pecinta Ken Arok Ken Dedes, sebuah drama musikal yang mengangkat kisah legendaris dari Kerajaan Singhasari.


Drama musikal ini merupakan hasil kolaborasi antara dosen dan mahasiswa, dengan Dr. Dwi. Sulistiyorini. S.S., M. Hum. sebagai produser, Prof. Dr. Yuni Pratiwi M. Pd. sebagai supervisor, dan Dr. Sn. Indra Suherjanto S. Pd., M. Sn. sebagai sutradara. Mengisahkan perjalanan hidup Ken Arok, dari kelahirannya yang penuh kontroversi hingga meraih tahta Singhasari, pertunjukan ini mengeksplorasi tema-tema besar seperti ambisi, cinta, dan pengkhianatan. Ken Arok yang dibesarkan di lingkungan yang keras tumbuh menjadi sosok penuh ambisi untuk merebut tahta melalui hubungan dengan Ken Dedes, istri Tunggul Ametung.

Pentas drama musikal ini berhasil menggabungkan unsur-unsur teater dan musik dengan cukup baik, meskipun masih ada beberapa aspek yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan kualitas pertunjukan. Musik yang disusun oleh Fandy Romadoni menggabungkan elemen tradisional dengan nuansa modern, menciptakan komposisi yang mengangkat emosi, dan memperdalam konflik internal antara pemain, terutama dalam hubungan antara Ken Arok dan Ken Dedes. Tata panggung yang mengusung suasana Jawa kuno berhasil menciptakan nuansa Singhasari yang autentik melalui penggunaan kostum tradisional, musik gamelan, tata panggung. Kostum yang dikenakan oleh Ken Arok dan Ken Dedes serta pemain lainnya mencerminkan pakaian tradisional era Singhasari, yang membawa penonton seolah berada dalam zaman tersebut. Gerakan tari yang dipertunjukkan oleh mahasiswa juga cukup mengesankan, menciptakan dinamika visual yang menarik dan menyatu dengan alur cerita.


Drama musikal ini menggambarkan perjalanan hidup Ken Arok yang penuh ambisi dan cinta yang saling berjalin dalam perjuangannya merebut kekuasaan. Sebagai tokoh utama, Ken Arok menunjukkan keteguhan dan ambisi yang kuat untuk mencapai tujuannya, meskipun harus melalui jalan yang dipenuhi dengan konflik emosional dan pengkhianatan. Kisah cintanya dengan Ken Dedes tidak hanya menggambarkan kebahagiaan, tetapi juga pengorbanan dan keputusan-keputusan besar yang harus diambil. Di sisi lain, Ken Dedes meskipun sering menjadi obyek cinta, juga mencerminkan peran perempuan dalam kekuasaan yang tidak bisa dianggap remeh. Melalui kisah ini, penonton di ajak untuk merenung tentang harga diri, cinta, dan ambisi yang saling terkait dalam kehidupan manusia. 


Secara keseluruhan Lagu Cinta Sang Pecinta Ken Arok Ken Dedes berhasil menghidupkan tema-tema universal tentang perjuangan manusia untuk meraih kekuasaan diwarnai dengan konflik-konflik emosional yang timbul dari cinta dan pengkhianatan. Walaupun ada beberapa kekurangan teknis yang perlu diperbaiki, seperti pencahayaan yang kurang optimal. Pada beberapa adegan pencahayaan tidak cukup mencolok untuk memberikan kesan dramatis yang diinginkan. Misalnya, dalam adegan penuh emosi pencahayaan yang lebih dramatis bisa meningkatkan intensitas perasaan yang ingin disampaikan. Selain itu, pencahayaan di ruangan harus lebih diperhatikan selama pertunjukan untuk membantu penonton lebih fokus pada aksi di panggung. Penggunaan mikrofon yang tidak konsisten juga menjadi hambatan dalam pertunjukan ini. Beberapa adegan menunjukkan mikrofon yang tidak berfungsi dengan baik, mengurangi kekuatan percakapan atau dialog yang seharusnya mendalam, sehingga terasa kurang memikat. Ketidakjelasan suara juga mengganggu proses penyampaian pesan dalam cerita, yang seharusnya menjadi salah satu kekuatan utama dari sebuah pertunjukan. Durasi pertunjukan yang relatif singkat juga tidak memberikan cukup waktu bagi penonton untuk sepenuhnya meresapi dan memahami cerita yang disampaikan. Untuk mengatasi hal ini, perlu dilakukan perbaikan dalam pencahayaan dan penggunaan mikrofon yang lebih teliti, memastikan bahwa alat tersebut berfungsi dengan baik, serta mempertimbangkan durasi pertunjukan agar penonton dapat lebih mendalami alur cerita. 


Meskipun ada beberapa kekurangan, pertunjukan ini tetap patut diapresiasi. Kolaborasi antara dosen dan mahasiswa berhasil menciptakan pengalaman seni yang menarik dan segar, menggugah, serta penuh inovasi. Para pemain dengan bakat yang dimiliki berhasil menghidupkan kisah sejarah ini dengan cara yang segar dan inovatif. Karya ini menunjukkan semangat kreatif dan kolaboratif yang patut dihargai, meskipun ada beberapa aspek teknis yang perlu diperbaiki. Dengan perbaikan di beberapa aspek tersebut, pertunjukan ini berpotensi untuk berkembang lebih jauh dan memberikan pengalaman yang lebih mendalam bagi penonton di masa depan. Kami menantikan karya-karya selanjutnya dari Departemen Sastra Indonesia yang penuh inovasi dan kualitas tinggi.