Oleh Dinda Komala
Citra S.P dibimbing Oleh Dr. Nia Kurniawati Hidayat, SP, M.Si.
Sektor pertanian merupakan penopang penting ketahanan pangan
sekaligus penyedia lapangan kerja di Indonesia. Seperti diungkap Julius R.
Latumaresa (2015), keberlanjutan produktivitas pertanian sangat bergantung pada
pengelolaan tanah dan nutrisi tanaman, salah satunya melalui pemupukan. Namun,
persoalan mendasar yang dihadapi Indonesia adalah ketidakseimbangan antara
kebutuhan dan pasokan pupuk.
Data dari Kompas mencatat bahwa kebutuhan pupuk
nasional mencapai 13,5 juta ton per tahun, namun hanya sekitar 3,5 juta ton
yang dapat dipenuhi dari dalam negeri, sementara sisanya masih harus diimpor.
Ketimpangan ini menandakan pentingnya intervensi pemerintah untuk memastikan
ketersediaan pupuk di pasar.
Sebagai instrumen kebijakan pasar, pemerintah setiap tahun mengalokasikan subsidi pupuk dengan tujuan menjaga harga tetap terjangkau bagi petani, menjaga daya beli atas input produksi, dan mendukung ketahanan pangan nasional. Dalam RAPBN 2024, alokasi subsidi pupuk mencapai Rp 44,16 triliun, dengan target distribusi sebesar 9 juta ton.
Namun, efektivitas kebijakan ini masih dipertanyakan. Masalah utama terletak pada proses distribusi yang panjang dan rentan terhadap penyimpangan. Penyaluran pupuk bersubsidi melalui jalur dari produsen ke distributor, pengecer resmi, hingga ke petani yang tercatat dalam sistem e-RDKK, sering kali disusupi praktik manipulatif. Kasus manipulasi data di Kabupaten Madiun pada 2022 menjadi contoh nyata. Seorang pejabat Dinas Pertanian dan Ketua Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) terbukti memalsukan data RDKK dan menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 1,64 miliar.
Hal serupa juga terjadi di Lamongan pada Maret 2025, ketika
polisi menangkap seorang pelaku asal Bojonegoro karena menjual 30 ton pupuk
bersubsidi di luar wilayah dan dengan harga di atas HET. Aksi ini berdampak
pada kelangkaan pupuk di Lamongan.
Pemerintah telah mencoba membenahi sistem ini melalui
digitalisasi distribusi dengan Kartu Tani. Program ini dimaksudkan agar
distribusi pupuk lebih tepat sasaran dan transparan. Sayangnya, pelaksanaannya
belum optimal. Banyak petani belum memiliki kartu, tidak paham cara
menggunakannya, atau tidak terdaftar dalam sistem. Menurut laporan Kompas
(2024), data petani penerima subsidi juga masih sering tidak sinkron antar
instansi, seperti Kementerian Pertanian dan Dinas di daerah.
Jika subsidi pupuk ingin efektif sebagai kebijakan pasar,
maka pendekatannya tidak boleh hanya dari sisi anggaran, tetapi juga dari
perbaikan sistemik. Pertama, integrasi data petani berbasis NIK yang terhubung
ke sistem nasional perlu segera diterapkan. Kedua, pemantauan distribusi pupuk
harus dilakukan secara digital dari produsen hingga petani. Ketiga, pengawasan
partisipatif perlu melibatkan masyarakat sipil dan organisasi petani secara
aktif.
Subsidi pupuk bukan hanya soal angka besar di APBN,
melainkan menyangkut keadilan bagi petani kecil yang sangat bergantung pada
pupuk sebagai input utama. Tanpa pembenahan distribusi dan pengawasan ketat,
subsidi pupuk akan terus menjadi celah penyimpangan pasar, dan yang dirugikan
bukan hanya negara, tapi juga jutaan petani yang seharusnya dibantu.