| Gambar Ilustrasi AI |
Kabar Nusantara - Tulisan ini berpendapat bahwa banjir berulang mencerminkan lemahnya aksi iklim Indonesia. Menjelang akhir 2025, banjir melanda berbagai wilayah di Pulau Jawa dan Sumatra, termasuk Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung, yang merendam ratusan rumah warga. Fenomena ini bukan peristiwa tunggal, melainkan bagian dari pola bencana hidrometeorologi yang semakin intens dan meluas. Di tengah komitmen Indonesia terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 13 tentang aksi menghadapi perubahan iklim, banjir berulang ini menjadi ujian nyata atas kesiapan dan keseriusan negara.
Data tentang banjir kejadian pada Desember 2025 menunjukkan bahwa banjir sering terjadi di banyak provinsi. Misalnya, di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, banjir merendam sekitar 150 rumah warga. Sebaliknya, puluhan rumah di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, juga terkena dampak polusi udara. Lampung Utara dan Mojokerto, Jawa Timur, telah terendam puluhan rumah. Meski tidak selalu menghasilkan corban jiwa; dampak sosial dan ekonomi dari banjir ini adalah sebagai berikut: aktivitas warga meningkat, kerugian material meningkat, dan kelompok rentan menjadi yang paling berdampak. Banjir tidak dapat dianggap sebagai bencana alam biasa dalam konteks SDG 13. Perubahan hujan curah, kerusakan lingkungan, fungsi lahan lainnya, dan lemahnya tata kelola daerah aliran sungai memiliki dampak yang signifikan dalam meningkatkan risiko banjir. Dengan demikian, masalah ini terkait erat dengan dua pilar utama SDG 13, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Hingga saat ini, pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen melalui beberapa kebijakan. Pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pengembangan sistem peringatan dini, dan integrasi perubahan ini ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sangat penting. Selain itu, pemerintah telah melaksanakan program rehabilitasi lingkungan, normalisasi sungai, dan pembangunan infrastruktur untuk banjir pengandali di berbagai daerah rawan. Namun, banjir yang terus-menerus menunjukkan bahwa pendekatan yang ada terutama reaktif daripada preventif. Penanganan sering kali berfokus pada fase tanggap darurat, sedangkan mitigasi jangka panjang kurang mendapat perhatian. Data dari Desember 2025 menunjukkan bahwa terdampak daerah-daerah adalah daerah yang sebelumnya mengalami bencana serupa. Ini menyoroti kekurangan evaluasi kebijakan dan kekurangan pembelajaran dari pengalaman sebelumnya.
Menurut SDG 13, tantangan Indonesia tidak terbatas pada ketersediaan kebijakan tetapi juga implementasi lokal. Banyak pemerintah daerah yang tidak mempertimbangkan risiko perubahan iklim sebagai fondasi untuk proyek bangunan. Tata ruang yang abai terhadap daya dukung lingkungan, pembangunan di kawasan rawan banjir, lemahnya pengawasan alih fungsi lahan memperpararah kerentanan masyarakat. Selain itu, pendidikan publik dan partisipasi dalam mitigasi bencana masih kurang. Masyarakat sering menjadi objek kebijakan daripada subjek aktif. Akibatnya, adaptasi terhadap perubahan lingkungan memerlukan kerja sama antara bangsa dan warganya, dimulai dengan perlindungan lingkungan berbasis masyarakat dan diakhiri dengan kesiapsiagaan untuk menghadapi bencana.
Banjir juga menyoroti tingkat ketimpangan dalam krisis iklim. Kelompok ekonomi bawah cenderung tinggal di rawan wilayah dan memiliki kemampuan pemulihan yang lebih terbatas. Jika situasi ini berlanjut, implementasi SDG 13 akan memakan waktu dan berpotensi menghambat tujuan pembangunan lainnya. Di masa depan, Indonesia perlu mengembangkan paradigma penanganan banjir dari sekadar respons darurat menjadi strategi adaptasi iklim yang terencana dan berkelanjutan. Penguatan tata ruang berbasis risiko bencana, restorasi lingkungan, dan integrasi data bencana dalam pengembangan daerah menjadi tugas yang menantang. Sebagaimana dinyatakan pada Desember 2025, data kejadian banjir seharusnya tidak hanya digunakan sebagai arsip tetapi juga sebagai dasar untuk evaluasi kebijakan nasional. Pada akhirnya, banjir lebih dari sekadar isu udara meluap; itu juga menyoroti hubungan antara manusia dan lingkungan. Jika Indonesia serius untuk mencapai SDG 13, maka komitmen terhadap tindakan iklim harus ditunjukkan melalui langkah-langkah yang konsisten, rajin, dan proaktif dalam jangka panjang keberlanjutan—daripada langkah-langkah reaktif setelah masalah telah terjadi.
Penulis : Tika Harisma Mutia Selano
Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang