Iklan

,

Krisis Iklim Indonesia: Antara Komitmen Global dan Realita Lapangan

Kabar Nusantara
Sabtu, 20 Desember 2025, 18.50 WIB Last Updated 2025-12-20T11:50:27Z


Kabar Nusantara - Perubahan iklim kini bukan lagi isu global yang jauh dari kehidupan sehari-hari. Dampaknya telah nyata dirasakan masyarakat Indonesia, mulai dari bencana hidrometeorologi hingga ancaman jangka panjang terhadap ketahanan pangan dan wilayah pesisir. Di tengah komitmen terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), Indonesia dihadapkan pada tantangan besar untuk menyelaraskan target internasional dengan realitas di lapangan.


SDGs disepakati oleh negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2015 sebagai kerangka pembangunan global hingga 2030. Agenda ini menempatkan pembangunan manusia, perlindungan lingkungan, dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan, dengan prinsip utama no one left behind. Dari 17 tujuan yang ditetapkan, penanganan perubahan iklim atau SDG 13 menjadi salah satu pilar krusial karena berpengaruh langsung terhadap pencapaian tujuan lainnya.


Indonesia termasuk negara yang aktif mengadopsi SDGs ke dalam kebijakan nasional dan daerah, di antaranya melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) serta pembentukan Sekretariat Nasional SDGs. Pemerintah menegaskan bahwa agenda ini menjadi pedoman strategis agar pembangunan ekonomi tidak mengorbankan lingkungan dan kelompok rentan. Namun, luas wilayah, keragaman kondisi geografis, serta ketimpangan kapasitas antarwilayah membuat implementasinya tidak berjalan mudah.


Perubahan iklim di Indonesia telah menunjukkan dampak nyata. Bencana banjir dan tanah longsor yang melanda sejumlah wilayah di Pulau Sumatra pada akhir 2025 menjadi gambaran jelas bagaimana cuaca ekstrem memperparah risiko alam yang selama ini sudah ada. Curah hujan tinggi dengan intensitas tidak biasa menyebabkan korban jiwa, kerusakan infrastruktur, serta kerugian ekonomi yang signifikan. Fenomena ini, menurut para ilmuwan iklim, berkaitan erat dengan pemanasan global yang meningkatkan kandungan uap air di atmosfer.


Selain bencana besar, ancaman lain yang kerap luput dari perhatian publik adalah kenaikan muka air laut dan intrusi air asin di wilayah pesisir. Sejumlah komunitas pesisir di Jawa dan daerah lain harus menghadapi kenyataan hilangnya lahan, rusaknya sumber penghidupan, hingga ancaman terhadap permukiman. Upaya adaptasi berbasis komunitas, seperti penanaman mangrove, menjadi langkah penting untuk memperkuat ketahanan lokal, meski belum sepenuhnya mampu mengimbangi laju perubahan iklim.


Di sisi struktural, deforestasi dan degradasi hutan masih menjadi persoalan utama. Pembukaan lahan untuk perkebunan, pertambangan, dan proyek skala besar terus menekan hutan alam yang berfungsi sebagai penyerap karbon. Ironisnya, sejumlah program pembangunan yang ditujukan untuk ketahanan pangan dan energi justru menuai kritik karena berpotensi meningkatkan emisi dan merusak ekosistem penting.


Ketergantungan pada energi berbasis bahan bakar fosil juga memperumit upaya mitigasi iklim. Meski Indonesia telah menetapkan target pengurangan emisi melalui komitmen Nationally Determined Contributions (NDC), kesenjangan antara kebijakan dan pelaksanaan di sektor energi, transportasi, dan industri masih terlihat jelas. Hal ini menegaskan bahwa penanganan perubahan iklim tidak bisa dibebankan pada satu sektor saja, melainkan membutuhkan pendekatan lintas kebijakan.


Peran pemangku kepentingan menjadi faktor penentu. Pemerintah pusat dan daerah, dunia usaha, masyarakat sipil, komunitas lokal, hingga lembaga pendidikan memiliki kontribusi masing-masing. Sektor bisnis, misalnya, dapat menjadi motor inovasi teknologi rendah karbon, namun juga berpotensi memperbesar jejak emisi jika praktik industrinya tidak berkelanjutan. Di tingkat lokal, inisiatif masyarakat dalam adaptasi iklim menunjukkan bahwa solusi tidak selalu harus berskala besar, tetapi dapat dimulai dari penguatan kapasitas komunitas.


Meski demikian, capaian SDG 13 di berbagai daerah masih belum merata. Sejumlah indikator bahkan menunjukkan kemajuan yang minim, mencerminkan lemahnya koordinasi antara kebijakan nasional dan implementasi daerah. Keterbatasan pendanaan, rendahnya kapasitas adaptasi, serta orientasi pembangunan jangka pendek kerap menghambat upaya mitigasi dan adaptasi iklim.


Tanpa perubahan pendekatan yang lebih serius, Indonesia berisiko tertinggal dalam pencapaian SDG 13, yang pada akhirnya akan memengaruhi tujuan pembangunan lainnya, seperti pengentasan kemiskinan, kesehatan, dan ketahanan pangan. Perubahan iklim perlu ditempatkan bukan sekadar sebagai kewajiban laporan global, melainkan sebagai fondasi utama strategi pembangunan nasional demi melindungi generasi kini dan mendatang dari dampak krisis iklim yang kian nyata.


Daftar Pustaka

ANTARA News. (15 Januari 2025). Pemerintah targetkan adaptasi iklim di seluruh daerah rawan bencana. ANTARA News.

AP News. (30 November 2025). Indonesia’s deforestation and carbon emissions challenge global climate goals. AP News.

Reuters. (3 Desember 2025). Flood-hit Indonesian regions struggle with relief efforts. Reuters.
The Guardian. (1 Desember 2025). Extreme rainfall in Indonesia linked to global warming, scientists warn. The Guardian.

United Nations. (2015). Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development. United Nations.

Universitas Brawijaya. (n.d.). Sustainable Development Goals (SDGs) Indonesia. SDGs Universitas Brawijaya.

Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. (n.d.). Indikator Pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) Provinsi Sumatera Selatan. Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan.