Iklan

,

“Ekonomi Indonesia 2030: Jika Pertamina Tidak Berbenah, Apa Artinya bagi Pertumbuhan Nasional?”

Kabar Nusantara
Minggu, 02 November 2025, 13.41 WIB Last Updated 2025-11-02T06:43:22Z


Oleh : Dahniear Bunga Cornelia R.

202310180311059


Kabar Nusantara - Setelah publik dikejutkan oleh berbagai perdebatan yang terjadi di Pertamina, yang mencakup keterlambatan proyek kilang, dugaan inefisiensi belanja modal, dan fokus pada transparansi tata kelola, muncul pertanyaan penting tentang seberapa besar pengaruh Pertamina terhadap masa depan ekonomi Indonesia. Selain sebagai perusahaan minyak dan gas, Pertamina juga merupakan agen strategis pembangunan nasional dan pemegang mandat energi yang menjadi dasar hampir semua aktivitas ekonomi. Dengan kontribusi energi yang signifikan terhadap PDB nasional, kegagalan dalam pengelolaan Pertamina pada dasarnya merupakan kegagalan dalam menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonomi Indonesia.


Secara teoritis, kasus Pertamina dapat dilihat dari perspektif publik pilihan dan teori lembaga. Mereka berdua menjelaskan bahwa ketika perusahaan negara memiliki kekuatan ekonomi yang besar tetapi akuntabilitas publik yang lemah, risiko antara agen utama dan agen utama meningkat. Dalam kasus Pertamina, tujuan birokrasi dan politik sering bercampur dengan tujuan efisiensi ekonomi. Misalnya, gagal menyelesaikan proyek kilang menunjukkan masalah teknis selain kekurangan perencanaan dan manajemen yang buruk untuk jangka panjang. 


Di sinilah teori menjadi nyata secara praktis kegagalan institusional di tingkat mikro dapat berdampak langsung pada ekonomi makro nasional. Empirinya jelas data dari Kementerian ESDM menunjukkan impor BBM Indonesia terus meningkat, mencapai lebih dari 40% kebutuhan negara. Artinya, tujuan untuk menjadi negara berdaulat energi masih menjadi slogan dan tetap bergantung pada pasokan luar negeri.


Energi dianggap sebagai sektor utama dalam teori pembangunan ekonomi klasik—dari Rostow hingga Hirschman—yang menentukan tahapan pertumbuhan. Negara yang memiliki manajemen energi yang efektif akan lebih cepat bergerak dari tahap awal ke tahap kematangan. Justru Indonesia saat ini menunjukkan paradoks. Meskipun ada banyak sumber daya alam, daya dorong energi untuk meningkatkan produktivitas industri masih rendah. Biaya produksi yang tinggi dan penurunan daya saing industri disebabkan oleh ketergantungan energi fosil dan inefisiensi perusahaan manufaktur. 


Sebaliknya, transisi energi yang dipromosikan pemerintah seringkali tidak disertai dengan persiapan struktural yang diperlukan. Peran Pertamina dalam transformasi hijau sering terlihat sebagai reaktif daripada proaktif, dan investasi di energi baru terbarukan (EBT) masih sangat kecil. Padahal, negara-negara seperti Malaysia dan Norwegia telah membuktikan bahwa perusahaan minyak nasional dapat menjadi motor transisi menuju ekonomi rendah karbon—selama ada tata kelola yang transparan dan strategi investasi jangka panjang.


Efek rambatan, atau efek multiplier, terjadi ketika sektor energi terganggu. Konsumsi rumah tangga adalah pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang mencapai lebih dari 50% PDB, dan dipengaruhi oleh harga BBM. Secara teoritis, setiap kenaikan harga BBM sebesar 10% dapat memicu inflasi hingga 1,5% dan menurunkan pertumbuhan ekonomi sekitar 0,3–0,5%. Oleh karena itu, target pertumbuhan ekonomi 6% pada tahun 2030 dapat menjadi ilusi jika efisiensi distribusi dan produksi energi tidak segera diperbaiki. 


Selain itu, investasi asing membutuhkan kepastian energi. Investor tidak hanya menginginkan insentif fiskal, tetapi juga stabilitas pasokan dan harga. Kepercayaan investor terhadap sektor energi nasional dapat menurun, yang pada gilirannya akan memperlambat arus investasi ke industri manufaktur dan hilirisasi yang menjadi prioritas pemerintah.


Penguatan tata kelola yang transparan dan akuntabel harus menjadi langkah pertama dalam reformasi Pertamina. Kepercayaan publik akan hancur jika tidak ada transparansi dalam pengadaan, laporan keuangan, dan evaluasi proyek. Sebaliknya, untuk menjaga efisiensi, manajemen harus menjaga jarak antara kepentingan bisnis dan politik. Selain itu, Pertamina harus berubah dari perusahaan minyak konvensional menjadi perusahaan energi kontemporer yang berfokus pada masa depan yang berfokus pada gas alam, energi baru terbarukan, dan teknologi hijau. Selain itu, untuk mempercepat efisiensi dan inovasi, kolaborasi dengan sektor swasta harus diperluas. Reformasi ini merupakan bagian penting dari rencana nasional untuk kemandirian energi dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dan bukan hanya masalah internal perusahaan.


Kegagalan Pertamina mencakup lebih dari sekedar kegagalan perusahaan; itu juga merupakan hasil dari kegagalan negara dalam mengelola elemen penting dari pertumbuhan ekonomi. Sektor energi sangat penting untuk pertumbuhan, dan tanpa efisiensi dan integritas di bidang ini, tujuan Indonesia Emas 2045 akan sulit dicapai. Kritik terhadap Pertamina seharusnya dianggap sebagai bukti kepedulian terhadap masa depan ekonomi negara. Karena, hanya dengan keberanian untuk melakukan perubahan, mulai dari tata kelola, transparansi, hingga transformasi energi, Pertamina dapat kembali menjadi mesin penggerak pembangunan nasional daripada menjadi beban fiskal yang terus-menerus untuk generasi berikutnya.