Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
(Menkumham) Yasonna H Laoly mengatakan kepada pihaknya memberikan kesempatan untuk
mengkaji ulang secara terbatas revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang tertunda pada masa
sidang DPR RI periode 2014-2019. Walaupun begitu, Yasonna membatasi pengkajian ulang sejumlah empat belas pasal.
Sebab sudah terlalu banyak waktu dan anggaran yang dihabiskan untuk pembahasan
RKUHP ini. "Iya, kalau kamu suruh buka kembali dan mengulang dari belakang, sampai
hari raya kuda tidak akan sampai selesai itu," kata Yasonna kepada
wartawan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (4/11).
Yasonna mengatakan negara sudah terlalu banyak
berinvestasi dalam revisi KUHP. Menurutnya pembahasan RKUHP sudah menelan biaya
kurang lebih Rp70 miliar hingga saat ini. Kader PDIP itu menilai penundaan pada masa
sidang lalu terjadi karena ketidakpahaman masyarakat. Ia mengimbau agar tidak
ada lagi kegaduhan seperti kemarin saat pembahasan kembali dimulai. "Kita lihat pembahasan apanya dan kita akan betul-betul, dan kita mintakan
masyarakat itu jangan suuzan. Yang dulu itu kan adalah sedikit politiknya,
ya kan, bikin ramai-ramai dikit lah, ya kan. Kalau sekarang kan sudah cooling down," ujar Yasonna.
Walaupun begitu, dia mengatakan pihaknya membuka kemungkinan untuk merevisi
pasal-pasal yang memicu kontroversi. Namun, dia memastikan pasal yang
berhubungan dengan penghinaan presiden tak akan dihapus untuk menjaga martabat
kepala negara. Di satu sisi, secara pribadi, Yasonna berharap RKUHP disahkan segera oleh parlemen.
Yasonna menargetkan RKUHP akan kembali dibahas pada Januari 2020. "Prolegnas diselesaikan sebelum reses, maka praktisnya Januari dong mulai
bicara," ucapnya. Sebelumnya, pembahasan serangkaian
rancangan dan revisi undang-undang ditunda DPR pada akhir periode 2014-2019.
Beberapa di antaranya revisi KUHP, RUU Minerba, RUU Pertanahan, RUU
Permasyarakatan, RUU Ketenagakerjaan, RUU PKS, dan RUU KKS. Penundaan dilakukan setelah aksi unjuk rasa yang dimotori mahasiswa digelar
serentak di sejumlah daerah pada September 2019. Bahkan lima orang meninggal
dunia dalam rangkaian aksi bertajuk #ReformasiDikorupsi itu (Hanggara).