Kabar Nusantara - Para investor dari dalam dan luar negeri menunjukkan keseriusannya untuk berinvestasi di Surabaya. Tentu saja, hal itu karena kondisi kota yang aman, nyaman dan kondusif, Tahun lalu, Dinas Penanaman Modal dan pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP) mencatat Rp 57,37 triliun investasi yang masuk ke Kota Pahlawan. Padahal, target awal yang ditetapkan adalah Rp 41,58 triliun. Nominal tersebut berasal dari tiga sumber, yakni penanaman modal asing (PMA) sebanyak Rp 0,71 triliun, penanaman modal dalam negeri (PMDN) Rp 0,14 triliun, dan Rp 56,5 triliun dari non-fasilitas.Kepala DPM-PTSP Kota Surabaya Nanis Chairani mengungkapkan bahwa non-fasilitas masih menjadi penyumbang dominan dalam pencapaian tersebut. Non-fasilitas merupakan investor yang memiliki badan usaha dengan nilai kurang dari Rp 15 miliar dan kebanyakan berasal dari lokal. Hal tersebut menunjukkan bahwa, perekonomian di Surabaya mampu berjalan mandiri, tanpa terlalu bergantung pada modal asing.“UMKM, startup dan industri-industri rumahan atau kecil itu juga termasuk non-fasilitas. Perkembangannya cukup signifikan, sehingga angka investasinya juga cukup fantastis. Sebab, pemerintah kota juga memiliki kepedulian tinggi pada ‘pemain’ di industri kecil dan menengah ini,” kata Nanis saat dijumpai di kantornya. Nanis menyadari, kesuksesan itu bukan tanpa alasan. Sederet inovasi kerap dilakukan demi menunjukkan Surabaya sebagai kota ramah investor. Hal itu juga demi turut merealisasikan misi yang dibawa Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Yakni, mewujudkan Surabaya sebagai pusat penghubung perdagangan dan jasa antarpulau dan internasional.
Selain itu, Surabaya memantapkan tata kelola pemerintahan yang baik dan daya saing usaha-usaha ekonomi lokal, inovasi produk dan jasa, serta pengembangan industri kreatif. DPM-PTSP juga kerap melakukan diskusi dengan banyak pihak, terutama investor dalam dan luar negeri. “Kami mengundang para investor, lalu memaparkan potensi apa saja yang ada di Surabaya. Selain itu, faktor pendukung seperti infrastruktur, keamanan, dan perizinan yang menjanjikan membuat investasi mereka terus berkembang,” ujarnya. Pernyataan tersebut senada dengan Ketua Asosiasi Pengusaha Kafe dan Restoran Indonesia (Apkrindo) DPD Jawa Timur Tjahjono Haryono. Menurutnya, Surabaya menjadi kota yang kondusif untuk berinvestasi. Terbukti, tiap tahun jumlah pengusaha kafe dan restoran terus mengalami kenaikan. Dari 2017 ke 2018, tercatat 20 persen pertumbuhan pengusaha kuliner. Mereka hadir dengan banyak inovasi, terutama menu yang disajikan dan interior kafe yang unik. “Masyarakat di Surabaya sangat apresiatif dengan usaha baru yang muncul. Jika ada kafe atau restoran yang baru buka, mayoritas pasti akan ramai,” kata dia. Gaya hidup modern dan aktif di jejaring sosial juga menjadi salah satu faktor usaha yang berkembang. Lewat media social, promosi bisa dilakukan dengan tepat dan cepat. Hal lain yang membuat bisnis terus tumbuh di Surabaya adalah faktor infrastruktur. Tjahjono mengakui bahwa Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia memiliki infrastruktur yang mumpuni. Terlebih, pemerintah kota juga sangat kooperatif dengan mempermudah perizinan pendirian usaha baru. Nanis mengamini hal tersebut. Dia mengungkapkan bahwa perizinan terhadap usaha baru juga terus dipermudah. Tentu saja, hal itu demi menarik investor dalam dan luar negeri untuk menanamkan modal di Surabaya. Hingga kini, beberapa negara juga memercayakan Surabaya sebagai tujuan investasinya. Diantaranya, Tiongkok, Vietnam, dan Inggris.(Arif H)